INFO NASIONAL - Para Direktur Jenderal di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Senin, 19 Februari 2018, duduk bersama merumuskan program untuk kesejahteraan rakyat, salah satunya melalui Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Agenda ini menjadi salah satu rangkaian Rapat Kerja Nasional KLHK 2018 yang bertemakan “Pelaksanaan 2018 dan Perencanaan 2019 Kementerian LHK: Sektor LH dan Kehutanan Menuju Pertumbuhan Pembangunan Berkualitas", yang berlangsung pada 19-20 Februari 2018.
Tersedianya sumber TORA dan terlaksananya redistribusi tanah ini merupakan salah satu amanat Nawacita. Dalam hal ini, KLHK telah melakukan identifikasi kawasan hutan yang akan dilepaskan, yaitu sebanyak 4,1 juta hektare. Lokasi TORA yang berasal dari kawasan hutan tersebut diarahkan untuk dapat memberikan kepastian hukum atas penguasaan tanah oleh masyarakat di dalam kawasan hutan. Selain itu, TORA dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan sengketa dan konflik dalam kawasan hutan.
Baca Juga:
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), yang diwakili oleh Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan Muhammad Said menyampaikan bahwa pemerintah telah mengalokasikan anggaran penyelesaian TORA Tahun 2018 sebesar Rp 826 miliar. “Anggaran tersebut dialokasikan untuk dapat memenuhi penyelesaian TORA Tahun 2018 seluas 1,6 juta hektare. Sampai dengan Februari 2018, sudah tersedia dari kawasan hutan 778.621 hektare dan 2019 targetnya 1,7 juta hektare,” tutur M. Said.
Sebagai upaya percepatan legalisasi obyek agraria di kawasan hutan, pemerintah telah menerbitkan payung hukum dalam Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesain Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (PPTKH).
Pemerintah akan melakukan pola penyelesaian untuk bidang tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah itu ditunjuk sebagai kawasan hutan. Langkah penyelesaian yang diambil, di antaranya dengan mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan. Opsi lain yaitu dengan melakukan tukar menukar kawasan hutan. Selanjutnya, dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial atau opsi terakhir dengan melakukan resetllement.
Baca Juga:
“TORA sebagai bagian dari Program Reforma Agraria ini berimplikasi pada perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi penggunaan lain. Kita sangat berhati-hati dalam menentukan lahan menjadi TORA, jangan sampai memicu terjadinya deforestasi,” ucap M. Said.
Dari hasil identifikasi peta arahan lokasi TORA, seluas lebih kurang 3,7 juta hektare berada di Hutan Produksi baik itu Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) maupun Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK). Selian itu, terdapat seluas lebih kurang 454.190 hektare yang berada pada areal Hutan Produksi yang dibebani izin Hutan Alam (HA), Hutan Tanaman Industri (HTI), dan Restorasi Ekosistem (RE).
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) I.B. Putera Parthama mengatakan sejak beberapa tahun terakhir pengelolaan Hutan Produksi sudah melakukan sejumlah langkah korektif untuk menciptakan keseimbangan antara bisnis dan masyarakat.
“Sudah ada 100 Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) yang telah disahkan. Di dalamnya terdapat total alokasi areal untuk blok pemberdayaan masyarakat seluas 1,2 juta hektare,” ujar Putera.
Pada areal 100 KPHP tersebut juga terdapat wilayah tertentu seluas 4.011.270 hektare yang dapat dimanfaatkan melalui kerjasama pemanfaatan dalam bentuk pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Selain itu, bentuk lainnya dapat berupa pemanfaatan hasil hutan kayu dan perhutanan sosial dalam bentuk izin dan kerja sama kemitraan.
Seluruh peserta Rakernas menyambut baik dan siap mendukung rangkaian kegiatan TORA. Oleh karena itu, seluruh elemen yang terlibat didalamnya diimbau agar bisa bekerja sama dengan baik dalam sinkronisasi dan verifikasi data informasi yang dibutuhkan. (*)