TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto sepakat atas dimasukannya pasal penghinaan presiden dalam naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Sebab, menurut Hasto, pasal itu berfungsi untuk menumbuhkan kesadaran dalam menghormati pemimpin negara.
"Dengan melihat demokrasi yang kebablasan, bahkan simbol negara pun sering dilecehkan, maka kami melihat hal itu (pasal penghinaan presiden) perlu dilakukan," kata Hasto di The Wahid Institute, Menteng, Jakarta Pusat pada Senin, 5 Februari 2018.
Baca: Pasal Penghinaan Presiden Tetap Dipertahankan di RKUHP
Menurut Hasto, sebagai negara yang menganut budaya Timur, seharusnya bangsa Indonesia dengan sendirinya mengedepankan rasa hormat terhadap pemimpin. Namun, yang terjadi saat ini seringkali justru berbeda.
"Itu bagian dari kebudayaan kita. Bukan hanya presiden, kepala desa, kepala RT pun kita hormati. Sehingga tentu saja, kita harus mengedepankan tradisi untuk sama-sama menghormati, tidak perlu saling menghina," kata Hasto.
Kemunculan pasal penghinaan presiden dalam naskah RKUHP menuai protes lantaran pasal tersebut kembali muncul padahal pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi ketika mengabulkan uji materi terhadap KUHP pada 2006. Juru Bicara MK, Fajar Laksono, menyampaikan protes atas masuknya pasal tersebut dalam naskah RKUHP.
Baca: Pasal Penghinaan Presiden di RUU KUHP Rentan Digugat
"Tidak melaksanakan putusan pengadilan mencerminkan kita belum menjadi negara hukum seperti yang diinginkan Undang-Undang Dasar 1945," kata Fajar.
Ketentuan pidana terhadap penghinaan presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal 263-264 RUU KUHP. Dalam pasal itu, pelaku penghina presiden atau wakil presiden lewat berbagai sarana terancam hukuman pidana paling lama lima tahun penjara.