TEMPO.CO, Jakarta - Kontroversi pasal penghinaan presiden dalam naskah Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berlanjut. Juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono, mengingatkan bahwa MK telah membatalkan pasal serupa ketika mengabulkan uji materi terhadap KUHP pada 2006. “Tidak melaksanakan putusan pengadilan mencerminkan kita belum menjadi negara hukum seperti yang diinginkan Undang-Undang Dasar 1945,” kata Fajar kepada Tempo, Ahad, 4 Februari 2018.
Fajar mengatakan, pasal baru yang kini dibahas pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sangat rentan kembali digugat di MK. Jika kelak pasal baru tersebut kembali diperkarakan dalam uji materi, dia ragu putusan MK bertentangan dengan putusan sebelumnya. “Dalam memutus perkara, MK sudah tentu juga akan merujuk pada putusan terdahulu,” kata Fajar.
Baca: Pasal Penghinaan Presiden Membuat Demokrasi Indonesia Mundur
RUU KUHP kini memasuki pembahasan akhir di DPR yang ditargetkan rampung dalam sepekan ke depan seiring berakhirnya masa sidang kali ini. Jika jadi disahkan, undang-undang ini merupakan produk hukum pidana pertama buatan Indonesia setelah seabad menggunakan KUHP buatan pemerintah kolonial Belanda.
Namun, di tengah kritik publik, pemerintah dan DPR tetap akan mengatur tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden. Ketentuan anyar diatur dalam Pasal 263-264 RUU KUHP. Isinya adalah ancaman pidana paling lama 5 tahun terhadap setiap orang yang menghina presiden atau wakil presiden lewat berbagai sarana.
Baca Juga:
Pada Desember 2006, MK di bawah kepemimpinan hakim konstitusi Jimly Asshiddiqie membatalkan pasal-pasal serupa yang digugat Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis dalam perkara uji materi KUHP. Ketentuan yang dibatalkan antara lain Pasal 134, 136 bis, dan 137 karena bertentangan dengan UUD 1945.
Baca: Masuk RKUHP, Pasal Penghinaan Presiden Dinilai Terkait Pemilu
Meski diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinions) oleh empat hakim agung, MK menilai pasal-pasal tentang pidana penghinaan presiden dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena multitafsir dan berpeluang menghambat hak atas kebebasan berpendapat. Mahkamah menilai beleid itu tidak sesuai dengan prinsip persamaan di depan hukum.
Mahkamah Konstitusi memperingatkan tidak boleh ada produk perundang-undangan yang bertentangan dengan keputusan MK. Ini terkait dengan pembahasan pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Pegiat penegakan demokrasi dan hak asasi manusia mengkritik rencana pemerintah dan DPR kembali mengatur pasal penghinaan presiden. Pendiri Kantor Hukum dan HAM Lokataru, Haris Azhar, menilai pasal tersebut berpotensi memuluskan kuasa presiden yang antikritik. “Dalam konstitusi, yang dijamin adalah hak setiap rakyat. Jika kewajiban presiden tak terpenuhi, presiden memang harus dikritik,” kata Haris, yang juga mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Begitu pula peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Miko Ginting, menilai pemerintah dan DPR saat ini justru menunjukkan sikap ketatanegaraan yang tak patuh terhadap konstitusi. “Paradigma memenjarakan masih kental dalam RUU KUHP ini,” kata Miko.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mochamad Choirul Anam, berharap pemerintah dan DPR menunda rencana pengesahan RUU KUHP sembari kembali mendengarkan masukan dari kelompok masyarakat. “Perlu ada pendalaman dan uji dampak terhadap hukum pemidanaan,” ujarnya.
ARKHELAUS W.