TEMPO.CO, Jakarta - Tim perumus Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati pasal 239 tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden tetap ada. Ketua tim perumus RUU KUHP, Benny Kabur Harman, mengatakan pasal ini disepakati sebagai delik umum dalam RKUHP.
"Sudah disepakati, kita setuju ini menjadi delik umum," kata Benny, yang juga politikus Partai Demokrat, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 5 Februari 2019. Pembahasan soal delik hukum pidana memang sempat menjadi perdebatan dalam pembahasan di tim perumus.
Baca Juga:
Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden di RUU KUHP Rentan Digugat
Anggota tim perumus dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengusulkan agar pasal ini dipertahankan. "Tapi ancaman hukumannya tidak lima tahun," ujar Arsul. Awalnya, kata dia, PPP mengusulkan agar penghinaan presiden menjadi delik aduan.
Arsul berpendapat penurunan ancaman hukuman untuk mengantisipasi kesewenang-wenangan kepolisian dalam penanganan kasus. Sebab, kata dia, berdasarkan KUHAP, kepolisian berhak menahan terduga pelaku penghinaan presiden. "Ini diturunkan hukuman untuk melimitasi penegak hukum agar tak sewenang-wenang," ujarnya.
Anggota tim ahli dari pemerintah, Harkristuti Harkrisnowo, berpendapat penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden menjadi delik umum. Sehingga, kata dia, kepolisian bisa langsung menangani kasus ini. "Masa kepala negara lain menjadi delik umum, kepala negara kita sendiri tidak," ujar dia.
Baca juga: Panja DPR Akan Bahas Pasal Pencabulan Sesama Jenis dalam RKUHP
Ahli dari pemerintah untuk RKUHP, Muladi, berbeda pendapat. Menurut dia, putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 menyatakan setiap orang memiliki kedudukan yang sama dalam hukum. "Presiden tetap harus delik aduan. Itu inti putusan MK 2006 kalau presiden dihina harus jadi delik aduan dan harus lapor ke polisi," ujar dia.