TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat hukum Bivitri Susanti meminta nota kesepahaman Polri dan TNI soal pemeliharaan keamanan dan ketertiban dibatalkan. Menurut Bivitri, kesepahaman tersebut tak konstitusional karena TNI dan Polri punya fungsi dan tujuan berbeda.
“Menurut saya MoU nya ini salah dan tidak konstitusional. Jadi mestinya diperlukan upaya-upaya politik supaya MoU ini dibatalkan. Apalagi kita mau pemilu,” kata Bivitri di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 3 Februari 2018.
Baca juga: TNI Bakal Ikut Diterjunkan Bantu Polri Hadapi Aksi Massa
Dalam kesepahaman yang ditandatangani Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian dan Panglima TNI Hadi Tjahjanto disebutkan TNI akan ikut diterjunkan untuk membantu polisi menghadapi aksi massa seperti unjuk rasa, mogok kerja, kerusuhan massa, dan menangani konflik sosial.
Bivitri mengatakan dari segi hukum tata negara, kesepahaman TNI-Polri tak konstitusional karena tidak sesuai dengan amandemen UUD 1945. Secara konstitusional, menurut Bivitri, fungsi dan tujuan TNI maupuan fungsi Polri sudah dimuat dalam undang-undang yang terpisah.
Bivitri menuturkan, salah satu misi utama dalam amandemen UUD 1945 pada tahun 1999-2002 adalah untuk memisahkan TNI dan Polri. Karena, menurut Bivitri, TNI dan Polri secara hakiki memiliki fungsi yang berbeda. Ia mengatakan, Polri berfungsi untuk menjaga ketertiban, sedangkan TNI soal ketahanan.
“Jadi misi reformasi dulu tahun 1998 itu seperti itu, oleh karena itu masuk dalam konstitusi kita di amandemen tahun 2002-1999,” kata Bivitri.
Menurut Bivitri, nota kesepahaman itu seakan-akan memberikan pintu masuk pada TNI agar menggunakan wewenang kepolisian untuk masuk ke ranah ketertiban. Secara prinsip, tutur Bivitri, karena tujuan kepolisian dan TNI sangat berbeda, maka karakter keduanya juga berbeda. Menurut Bivitri, hal Itu berbahaya jika kemudian TNI ikut masuk dalam persoalan ketertiban, keamanan, karena TNI dilatih untuk perang.
Baca juga: Naik Pangkat, Para Perwira TNI-Polri Temui Jokowi di Istana
“Ibaratnya tujuan dia membunuh musuh. Padahal dalam konteks ketertiban, tidak ada musuh. Karena semuanya adalah warga negara,” ujar Bivitri.
Dalam konteks pelanggaran ketertiban, kata Bivitri, pelanggar itu harus ditangkap dengan cara yang beradab, diberi haknya, serta dijaga Hak Asasi Manusia-nya. Menurut Bivitri, secara karakter, tentara tidak mengenal itu.
“Saya tidak menyalahkan TNI, tapi di mana pun di dunia ini itulah karakter tentara. Kalau ini mau masuk ke wilayah sipil, ga akan bisa cocok,” ujarnya.