TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi membatalkan nota kesepahaman (MoU) antara Tentara Nasional Indonesia dengan Polri. Mereka menganggap nota kesepahaman yang ditandatangani oleh Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto itu dapat mengganggu semangat supremasi sipil yang dianut di Indonesia.
"MoU perbantuan tanpa ada keputusan hukum dari Presiden adalah anomali dalam pemerintahan yang menjunjung tinggi supremasi sipil," kata Ketua YLBHI Asfinawati dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu, 3 Februari 2018.
Baca: Jokowi Diminta Tak Diam Soal Kesepahaman TNI-Polri
Dalam aturan Nomor B/2/2018 dan Nomor Kerma/2/I/2018 dalam kesepahaman itu menyatakan bahwa TNI akan diperbantukan untuk menghadapi aksi massa. Masalahnya, kata Asfinawati, kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI ada pada Presiden. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang TNI Pasal 3 ayat 1 tentang kedudukan institusi tersebut.
Dalam mengerahkan TNI, Presiden pun harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terlebih dahulu. Sesuai dengan UU TNI Pasal 7 ayat 3, pengerahan TNI untuk operasi militer baik perang maupun bukan harus melalui keputusan politik negara. "MoU atau Nota kesepahaman bukanlah keputusan politik negara," ujar Asfinawati.
Baca: Hadi Tjahjanto: Indonesia Akan Aman Kalau TNI dan Polri Solid
Hal senada disampaikan oleh aktivis Hak Asasi Manusia Haris Azhar. Ia meminta Jokowi segera membuat peraturan presiden soal hubungan kedua institusi itu. “Secara prinsip benar bahwa TNI bisa memberikan bantuan dengan nama Operasi Militer Selain Perang. Tapi harus sesuai keputusan politik negara, bukan atas dasar kontrak dua institusi tersebut,” kata Haris kepada Tempo pada Jumat, 2 Februari 2018.
Nota kesepahaman TNI-Polri ditandatangani Tito dan Hadi saat rapat pimpinan bersama yang digelar 23 Januari 2018 lalu di Markas Besar TNI Cilangkap, Jakarta Timur. Kesepahaman tersebut berlaku selama lima tahun terhitung sejak penandatanganan.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto menyebut kerja sama itu bertujuan untuk memperjelas porsi tanggung jawab TNI dan Polri dalam mengamankan unjuk rasa. TNI berwenang mengamankan objek vital di lokasi, sementara polisi bersentuhan langsung dengan massa. "Bagi-bagi tugas," kata Setyo.