TEMPO.CO, Jakarta - Pengacara terdakwa kasus e-KTP Setya Novanto, Maqdir Ismail, meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan jaminan perlindungan kepada kliennya serta keluarga Setya. Hal ini terkait dengan kewajiban Setya yang harus membongkar tokoh lain bila permohonan sebagai justice collaborator (JC) dikabulkan.
"Kalau tidak ada jaminan yang tegas, pasti berat buat pak SN," kata Maqdir kepada Tempo, Jumat, 26 Januari 2018.
Menurut Maqdir, jaminan yang dimaksud berupa perlindungan dari potensi ancaman atau pembalasan orang-orang yang namanya disebut Setya. Karenanya, Maqdir berujar, sebaiknya pimpinan KPK berbicara dengan mantan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu mengenai JC.
Baca juga: Soal Nama Besar yang Akan Diungkap, Begini Kata Setya Novanto
Hal itu untuk membuka titik terang perkara dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang menyeret Setya Novanto.
"Pembicaraan mengenai JC ini dengan mengikutsertakan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)," ujar Maqdir.
JC adalah status yang diajukan untuk menjadi pihak yang bekerja sama dengan KPK. Dalam konteks kasus e-KTP, terdakwa yang mengajukan diri sebagai JC harus membuka informasi baru, misalnya ada keterlibatan pihak lain atau aliran dana yang lebih besar.
Jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang menangani persidangan Setya, Irene Putri, memaparkan salah satu syarat menjadi JC adalah bukan pelaku utama dalam perkara e-KTP. Adapun jaksa akan memberi rekomendasi ihwal JC Setya Novanto di akhir persidangan, persisnya sebelum tuntutan. Hingga saat ini, KPK belum memutuskan apakah permohonan JC Setya bisa diterima. "Sejauh ini kan kita berpendapat bahwa yang bersangkutan salah satu pelaku utama," ujar Irene.
Baca juga: Saksi Ini Diminta Konfirmasi ke Setya Novanto Soal Proyek E-KTP
Setya Novanto diduga berperan dalam meloloskan anggaran proyek e-KTP di DPR pada 2010 saat masih menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Dia didakwa menerima aliran dana sebesar US$ 7,3 sehingga merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun. Karenanya, ia didakwa melanggar Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Sidang perdana pokok perkara Setya berlangsung pada 13 Desember 2017. Adapun sidang pemeriksaan saksi dimulai pada Kamis, 11 Januari 2018.
Setya Novanto disebut menerima dana sebesar US$ 7,3 juta. Selain uang dia juga diduga menerima jam tangan merek Richard Mille seharga US$ 135 ribu.