TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum atau KPU telah menetapkan metode verifikasi faktual partai politik dengan sampling dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah 2018. Selain itu, demi kemudahan, KPU tidak perlu ke lapangan cukup mendatangi kantor wilayah partai politik karena sampel sudah disediakan oleh partai politik.
Kondisi ini, menurut mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sigit Pamungkas, rentan manipulasi. "Bisa saja disetup karena yang menyediakan parpol," ujarnya di Jakarta pada Sabtu, 20 Januari 2018.
Baca: Hasil Pemilu Berpotensi Digugat Karena Verifikasi Sampling KPU
Sigit mengatakan, keputusan ini juga lemah dalam segi kualitas partai politik. Persoalannya, selain dari jumlah bobot sampel yang hanya 5-10 persen, para anggota yang akan disampel pun ditentukan oleh partai politik. "Tentu kualitasnya lemah," kata dia.
Menurut Sigit, hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi KPU agar partai politik peserta pemilihan umum memiliki kualitas. Karena dalam Pasal 173 ayat 1 dan 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, verikasi dilakukan dengan sensus dan sampling.
Baca: Waktu Mepet, Nasdem Khawatirkan Kualitas Verifikasi Faktual
Mengenai verifikasi faktual, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan pihaknya sudah merevisi Peraturan KPU mengenai Pasal 173 ayat 1 dan 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang hanya menggunakan metode sampling. Dengan besaran anggota dan pengurus di atas 100 orang, maka sampling-nya 5 persen dan jika bawah 100 sampling-nya 10 persen.
Dalam rapat konsultasi dengan Komisi Pemerintahan DPR dan pemerintah, menurut Arief, telah disepakati untuk partai politik yang menentukan sampel-nya. Selain itu, KPU memangkas durasi verifikasi faktual dalam PKPU, yang semula 14 hari menjadi tiga hari untuk tingkat cabang dan dua hari untuk tingkat daerah dan pusat. "Putusan ini karena keterbatasan KPU dari segi waktu, tenaga, dan anggaran," kata Arief.