TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang Pemilihan kepala daerah serentak 2018 mendatang, muncul fenomena baru. Lima orang jenderal aktif dari TNI dan Kepolisian RI maju dalam bursa calon gubernur dan wakil gubernur di Pilkada 2018. Mereka diusung oleh beberapa partai.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Persatuan untuk Pemilu dan Demokrasi Perludem) mengutarakan kekhawatirannya atas pencalonan para jenderal aktif tersebut. Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar mengatakan potensi terjadinya konflik selama proses pemilu meningkat dengan pencalonan para calon itu.
Baca: Jenderal TNI Maju Pilkada, Bawaslu Akan Temui Hadi Tjahjanto
"Yang kami pikirkan adalah dampak setelah dia (ASN, anggota TNI, dan Polri) mencalon, kalau orang mau mencalon kita tidak bisa menghalangi, itu kan hak," kata Fritz seusai menjadi pembicara dalam diskusi soal pemilu di bilangan Setiabudi, Jakarta, Rabu, 27 Oktober 2017.
Berikut kekhawatiran yang disampaikan kedua lembaga tersebut menanggapi pencalonan aktif TNI dan Polri dalam Pilkada 2018 mendatang.
Bawaslu
Bawaslu mengkhawatirkan munculnya konflik pada masa pemilu. Konflik yang dimaksud itu, kata Fritz, lebih kepada potensi terjadi ketidaknetralan anggota aktif TNI ataupun Polri. Pasalnya, para jenderal TNI dan Polri yang mencalonkan diri masih memiliki mantan anak buah, relasi dengan pengusaha, maupun relasi dengan para petinggi instansi yang sama di daerah lain.
Baca: Jenderal TNI dan Polri Ikut Pilkada 2018, Begini Imbauan KIPP
Hal tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan residu kekuasaan. Padahal, kata Fritz, baik anggota aktif TNI maupun Polri harus menjaga netralitas secara politik selama proses Pilkada berlangsung sehingga tercipta keseimbangan dengan calon lain.
Untuk itu, Bawaslu saat ini sedang menggodok peraturan yang membahas tentang pencalonan Aparatus Sipil Negara (ASN) serta anggota aktif TNI dan Polri dalam pilkada. Peraturan ini direncanakan rampung pada pertengahan Januari tahun depan.
Perludem
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan ada empat hal yang menjadi kekhawatiran lembaganya. Pertama, adalah kekhawatiran akan adanya penyalahgunaan kekuasaan. Melihat lima jenderal yang diusung saat ini masih aktif dan berpotensi membangun "massa" pendukung menggunakan anak buah mereka.
Kemudian kekhawatiran yang lain adalah perihal penyalahgunaan fasilitas jabatan, penyalahgunaan anggaran, dan potensi munculnya intimidasi semasa proses pemilu berlangsung. Intimidasi, kata Titi sangat mungkin terjadi jika melihat struktur relasi dalam dua instansi tersebut berbentuk komando perintah. "Bukan seperti kita sipil," ujar Titi di bilangan Setiabudi, Jakarta, Rabu, 27 Oktober 2017.
Sebelumnya, ada lima orang orang figur jenderal aktif dari kesatuan TNI dan Polri yang akan meramaikan Pemilihan kepala daerah serentak 2018 sebagai calon gubernur. Beberapa partai politik besar seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Gerindra, Partai Amanat Nasional, dan Partai Keadilan Sejahtera mengusung mereka.
Adapun kelima jenderal yang maju Pilkada 2018 adalah Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi, Kepala Kepolisian Daerah Kalimatan Timur Inspektur Jendral Polisi Safaruddin, Wakil Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Inspektur Jenderal Polisi Anton Charliyan, Kepala Korps Brimob Polri Inspektur Jenderal Murad Ismail, Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw.