TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan pemerintah berkukuh mengusulkan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam RUU Pemilu adalah 20 persen kursi DPR dan 25 persen perolehan suara sah nasional. Menurut dia, argumentasi pemerintah sudah kuat.
"Ini bukan soal ngotot atau bukan ngotot. Pemerintah punya posisi untuk menentukan dan menyehatkan demokrasi," kata Wiranto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 10 Juli 2017.
Baca: RUU Pemilu, Demokrat Kukuh Tolak Presidential Threshold
Wiranto menjelaskan, partai politik atau gabungan partai politik perlu memiliki mekanisme guna memilih pemimpin yang terbaik. Sehingga, dia melanjutkan, dalam pemilihan umum nantinya, pencalonan tetap memperhatikan kualitas calon dibanding
jumlah calon. "Dan nanti menambah keruwetan proses pemilu," ujarnya.
Wiranto berkaca pada pemilihan presiden pada 2014 yang berhasil mengerucutkan calon presiden dan wakil presiden melalui komunikasi antarpartai politik. "Ada pengerucutan calon pemimpin lewat lobi-lobi parpol yang orientasinya kualitas," katanya.
Pemerintah, kata dia, menilai mekanisme pengerucutan calon ini layak dipertahankan. "Ini tidak ngotot, tapi ini melalui argumentasi yang sehat," ucapnya. Ia pun enggan menanggapi potensi pembahasan presidential threshold yang berakhir buntu (deadlock).
Baca juga: Presidential Threshold, Ketum PBB Sebut Partai Besar Bisa Gurem
Terkait dengan isu ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, Panitia Khusus RUU Pemilu mengakui masih ada beda pendapat di setiap fraksi. Pembahasan pun berpotensi molor. Beberapa fraksi, seperti PDI Perjuangan, NasDem, dan Golkar, mendukung usul pemerintah untuk ambang batas presidensial 20 persen. Sedangkan beberapa fraksi lain mendorong ambang batas nol persen.
ARKHELAUS W.