TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi kemasyarakatan atau ormas HTI memang lahir dari kampus. Menurut kajian Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, HTI didirikan di Institut Pertanian Bogor atau IPB pada 1982 berkat dukungan Abdullah bin Nuh, pengasuh pondok pesantren di kota itu. Pendirinya Abdurrahman al-Baghdadi (bukan Baghdadi pemimpin Negara Islam Irak dan Suriah), anggota Hizbut Tahrir Australia.
Abdullah dan Abdurrahman bertemu di Sydney karena anak Abdullah bersekolah di sana pada awal 1980. Abdullah, yang memiliki santri mahasiswa IPB, lalu mengajak Abdurrahman ke Bogor. Sejak itu, menurut kajian TNI yang terbit pada 2010 tersebut, ormas HTI berkembang dari kampus ke kampus.
Baca juga:
HTI Mengakui Kampus Potensial sebagai Basis Kaderisasi
Pembubaran HTI, Kejaksaan Agung Tunggu Permintaan Pemerintah
Untuk menyebarkan gagasan khilafah--pemerintahan internasional berdasarkan hukum Islam--mahasiswa IPB mendirikan Badan Kerohanian Islam Mahasiswa, yang menjadi organ resmi kampus. Mahasiswa senior BKIM menjaring anggota baru saat hari pertama penerimaan mahasiswa. Anggota baru itu diajak masuk organisasi, yang menyediakan pondokan dan buku-buku kuliah.
Ketua Umum BKIM 2016-2017, Muhammad Afifuddin al-Fakkar, menolak organisasinya dikaitkan dengan HTI secara langsung. “Kami simpatisan, meski silabus BKIM sama dengan organisasi itu, yaitu menegakkan syariat Islam,” katanya.
Baca pula:
Hadiri Acara Hizbut Tahrir Indonesia, Wiranto: Tak Berarti Setuju
Ditanya Soal Bukti HTI Anti-Pancasila, Menteri Tjahjo: Rahasia
Persoalan ormas HTI mengemuka belakangan setelah ada keputusan rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI, diambil dalam rapat yang dipimpin Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto di kantornya, Senin pekan lalu. Wiranto mengatakan Presiden Joko Widodo memerintahkan mengkaji sejumlah organisasi yang menentang Pancasila. Menurut Wiranto, HTI terindikasi kuat bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Liputan lebih lengkap terdapat di Majalah Tempo edisi 15-21 Mei 1997
Syailendra Persada (Jakarta), Artika Rachmi Farmita (Surabaya), Iqbal T. Lazuardi (Bandung), Sidik Permana (Bogor)