TEMPO.CO, Jakarta - Kerusakan daerah aliran sungai (DAS) di hulu Sungai Cimanuk dianggap menjadi penyebab bencana banjir bandang di Kabupaten Garut. Banjir itu menewaskan 16 orang dan belasan lain dinyatakan hilang.
"Kejadian ini adalah potret buruknya daerah aliran sungai hulu Sungai Cimanuk," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho dalam jumpa pers di kantornya, Jalan Pramuka, Jakarta, Rabu, 21 September 2016.
BACA: Jumlah Korban Simpang-Siur
Sutopo mengatakan, sejak 1980, DAS Cimanuk sudah dinyatakan sebagai DAS kritis. Karena itu, setiap terjadi hujan, sering terjadi banjir dan tanah longsor. Sebagai contoh kritisnya DAS Sungai Cimanuk ini bisa dilihat dari koefisien rasio sungai. Ini adalah angka yang menunjukkan perbandingan debit maksimum sungai saat terjadi hujan dibanding debit minimum saat kemarau.
Suatu DAS dinyatakan buruk, kata Sutopo, jika koefisien rasio sungainya lebih besar dari 80. Tapi yang terjadi di DAS Cimanuk adalah koefisien rasio sungai 713. "Ini menunjukkan terjadi kerusakan yang masif di DAS tersebut sehingga, jika terjadi hujan lebat, selalu dikonversi dengan limpasan permukaan atau debit sungai yang menyebabkan banjir. Ini yang terjadi tadi malam," tuturnya.
Dia mengatakan hujan awalnya terjadi pada Selasa malam sekitar pukul 19.00. Hujan terus bertambah lebat dan pada pukul 22.00. Sungai Cimanuk meluap dengan kecepatan besar. Puncaknya terjadi pada pukul 01.00 WIB, ketika terjadi banjir bandang dan tanah longsor di tujuh kecamatan di Kabupaten Garut.
Pada Rabu pagi, kata Sutopo, sebagian besar air sudah surut. Ini juga menunjukkan DAS Cimanuk sudah kritis. "Begitu cepatnya terjadi hujan, melimpas menjadi banjir yang besar, tapi sesudah hujan reda langsung surut dengan cepat," katanya.
Dalam musibah tersebut, Sutopo menyatakan data resmi sementara adalah terdapat 16 korban meninggal dan 18 orang belum ditemukan. "Ini data sementara, angkanya masih fluktuatif," ucapnya.
AMIRULLAH