TEMPO.CO, Denpasar - Gubernur Bali Made Mangku Pastika menyinggung soal rencana proyek PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI), yaitu reklamasi di Teluk Benoa pada saat menghadiri Sarasehan Kamtibmas HUT Bhayangkara ke-70 di Mapolresta Denpasar, Rabu, 22 Juni 2016. Pelaksana proyek tersebut ialah bagian dari jaringan bisnis milik taipan Tomy Winata.
Pastika mengatakan dia sudah sempat bertemu dengan Presiden Joko Widodo membahas tentang rencana reklamasi supaya masalah ini tidak menggantung terlalu lama. "Semua mencari kambing hitam, yang paling mahal Gubernur," katanya di Mapolresta Denpasar, Rabu, 22 Juni 2016.
Mantan Kapolda Bali itu menjelaskan keputusan reklamasi Teluk Benoa ada pada Presiden Joko Widodo. "Saya tidak berwenang membatalkan Perpres. Saya tidak berkepentingan secara pribadi soal reklamasi," ujarnya.
Pastika menuturkan, aksi masyarakat Bali yang rutin mengadakan demonstrasi menolak reklamasi Teluk Benoa dianggap dia sebagai upaya yang sia-sia. "Percuma demo terus sampai berdarah-darah di depan saya, tidak mungkin saya minta ke Presiden mencabut Perpres. Saya sudah bosan jadi kambing hitam," tuturnya.
Adapun Ketua Pasubayan Desa Adat tolak reklamasi Teluk Benoa, Wayan Swarsa, yang juga hadir dalam Sarasehan Kamtibmas HUT Bhayangkara ke-70, mengatakan, sebagai pemerintah daerah, semestinya Gubernur Bali punya gambaran yang nyata dalam menyikapi gejolak yang ada terkait penolakan reklamasi.
"Sebetulnya beliau tidak bisa bilang seperti itu. Kalau tidak ke Gubernur, ditujukan kepada siapa lagi?" katanya kepada Tempo seusai acara. "Demo masyarakat adat yang kami tunjukkan agar pemerintah pusat mendengarkan tuntutan masyarakat adat Bali untuk mengembalikan kawasan Teluk Benoa menjadi kawasan konservasi, cabut Perpres 51/2014."
Swarsa menjelaskan, Mangku Pastika sebagai seorang pemimpin di Bali seharusnya secara terbuka menyampaikan kepada masyarakat Bali kalau memang sudah bertemu dengan Presiden Joko Widodo membahas reklamasi.
"Kalau memang sudah ketemu Presiden, ya omongkan itu kepada rakyat, seharusnya begitu. Kalau beliau mengeluh dijadikan kambing hitam dalam konteks selalu disalahkan, kami tidak pernah menyalahkan seorang Gubernur," ujar Swarsa. "Tapi kepada siapa rakyat menyampaikan aspirasinya kalau bukan kepada pemimpin daerahnya?"
Swarsa juga mengutip ajaran Asta Brata, yakni delapan sifat kepemimpinan dalam agama Hindu, untuk menyikapi sikap Gubernur Bali tentang reklamasi Teluk Benoa.
"Mahambeg Maring Samudra, artinya seorang pemimpin itu meniru layaknya sifat lautan yang harus menampung segala aspirasi rakyatnya," tutur Bendesa Adat Kuta itu. "Gubernur dengan segala pertimbangan mau tidak mau, disukai atau tidak, harus menampung aspirasi itu, kemudian berkoordinasi dengan segala komponen yang ada."
BRAM SETIAWAN