TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Komisi Yudisial, Farid Wajdi, mengatakan pihaknya pernah melaporkan Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu, Janner Purba, kepada Mahkamah Agung terkait dengan gratifikasi. Terhitung sudah enam kali Komisi Yudisial melaporkan Janner sebelum hakim itu tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK pada 23 Mei 2016.
“Jenis laporan pada pelanggaran kode etiknya berkaitan dengan dugaan suap (gratifikasi),” kata Farid saat dihubungi, Rabu, 1 Juni 2016.
Saat ini, Janner menjadi tersangka kasus suap hakim di Pengadilan Negeri Kepahiang. Ia diduga mendapatkan duit suap dari terdakwa penyalahgunaan honor dewan pembina Rumah Sakit Umum M. Yunus, Bengkulu. Suap itu diberikan agar Janner menjatuhkan vonis bebas kepada terdakwa.
Farid menyebutkan hakim Janner sudah pernah dilaporkan sebanyak enam kali ke Komisi Yudisial. Laporan itu lalu diteruskan kepada Mahkamah Agung untuk ditindaklanjuti pada 2011.
Dari enam laporan itu, hanya ada dua laporan yang diusulkan untuk dijatuhi sanksi ringan berupa teguran. Sedangkan empat laporan lain tidak terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Menurut Farid, kesimpulan MA yang menyatakan Janner tidak melanggar etik bisa disebabkan tidak ada bukti yang mencukupi. Tapi, kata dia, bagi Komisi Yudisial, setiap laporan sangat bermakna untuk menilai perilaku hakim.
Tak adanya akses ke Mahkamah Agung menyebabkan Komisi Yudisial tak dapat memastikan apakah usulan tersebut sudah dieksekusi atau belum. “Tapi semestinya, jika ada sanksi seperti itu, apalagi berkaitan langsung dengan integritas, harus diperhatikan pada saat promosi dan mutasi,” ucapnya.
Farid mengatakan, sepanjang 2015, ada 116 pelanggaran kode etik oleh hakim yang sudah dilaporkan ke MA untuk ditindaklanjuti. Rinciannya adalah 11 laporan diusulkan untuk diberi peringatan serta 105 diberi sanksi ringan, sedang, dan berat.
Hingga hari ini, yang telah dieksekusi baru 12 laporan. “Sisanya belum dapat info yang cukup, karena itu dianggap masuk wilayah teknis yudisial,” ujarnya.
Menurut Farid, Komisi Yudisial seharusnya diberi kewenangan eksekutorial. Hal ini dibutuhkan untuk menyelaraskan kebutuhan Komisi Yudisial dan harapan publik ataupun lembaga legislasi terkait dengan penguatan kewenangan pengawasan eksternal hakim.
MAYA AYU PUSPITASARI