TEMPO.CO, Jakarta - Garis polisi menutupi lokasi kebocoran gas PT Lapindo Brantas di Desa Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangi, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Gelembung gas sempat keluar di dalam rumah Supriyono serta membakar kasur lantai, bantal, guling, lemari es, bahkan rambut Pratiwi, anak Supriyono, yang tengah tidur. Kebocoran jaringan pipa gas ini baru bisa dipadamkan dua jam kemudian.
Pada Senin, 14 Maret 2016, tim dari Pusat Laboratorium Forensik Polri Cabang Surabaya turun ke lokasi untuk menyelidiki kebocoran gas. Polisi menjaga wilayah itu agar warga tidak mendekat.
Tim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menilai diperlukan pengukuran tanah di sekitar pipa produksi Lapindo Brantas yang bocor pada Jumat, 11 Maret 2016. Tim Kajian Kelayakan Teknis dan Sosial yang ditunjuk langsung oleh Gubernur Jawa Timur itu menyebutkan kebocoran mungkin akibat penurunan tanah.
“Penyebabnya harus diukur dulu, apakah ada amblesan atau penurunan tanah di sekitar sana,” kata salah satu peneliti, Amien Widodo. Pada tahun 2008, tim ITS menemukan adanya penurunan tanah yang menyebabkan tanah retak, keluar gas, dan rumah penduduk rusak.
Dua tahun kemudian, Amien dan timnya kembali memeriksa kondisi di lokasi yang sama. Giliran tanggul bagian tengah ambles, sehingga menutup pusat semburan dan arah semburan semakin melebar. Tanah yang terdampak bertambah luas, menjadi dua kilometer dari pusat semburan.
Amien, yang juga Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim (PSKBPI) ITS, mengatakan faktor penurunan tanah akibat semburan lumpur 9 tahun lalu tidak dapat diabaikan.
Namun, Amien menegaskan, ada atau tidaknya penurunan tanah harus diukur di beberapa titik. “Tidak hanya diukur di satu titik, tapi juga di lokasi sekitar rumah-rumah warga,” katanya.
Dari olah tempat kejadian perkara (TKP), kata Amien, dapat diketahui apakah pemasangan atau penyambungan pipa dilakukan sesuai dengan estándar, termasuk apakah kebocoran itu akibat kesalahan manusia (human error) atau bukan. “Nanti pas pipa dibongkar sedalam kurang-lebih 2 meter bisa dilihat, ternyata standar atau tidak.”
Amien menambahkan, seharusnya tak ada permukiman di atas jalur pipa. Pihak Lapindo wajib rutin melakukan pengawasan dan evaluasi agar tidak terjadi kecelakaan. “Kalau ada monitoring kan jadi tahu ada rumah ini. Jadi bisa segera dilaporkan atau koordinasi ke pemerintah setempat karena nanti akan berbahaya,” ujarnya.
Menurut Amien, secara teori pipa gas dapat mengalami kerusakan atau keruntuhan karena tiga faktor. Pertama ialah faktor internal dari pipa, seperti spesifikasi bahan material yang digunakan, desain, cara penyambungan, dan sebagainya.
Kedua ialah faktor eksternal, seperti kawasan yang rawan gempa, rawan ambles, rawan longsor, dan letaknya sangat dekat dengan aktivitas manusia. “Sehingga bisa terkena pacul atau linggis, terpotong oleh alat berat, dan lain-lain.”
Yang ketiga ialah faktor human error dimulai sejak perencanaan, pemasangan, dan operasi yang tidak sesuai dengan standar. “Misalnya karena pengiritan menggunakan bahan-bahan yang tidak standar, tidak ada pengawasan saat pemasangan sambungan, saat operasi tidak ada SOP pemantauan dan evaluasi,” tutur Amien.
ARTIKA RACHMI FARMITA