TEMPO.CO, Jakarta - Sedikitnya 49 eks pengikut Gafatar asal Sulawesi Selatan masih tertahan di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Hal itu diutarakan oleh Asisten III Bidang Kesejahteraan Rakyat Kalimantan Timur Berre Ali saat mengantar 232 eks Gafatar Sulawesi Selatan dari Kabupaten Kutai Kartanegara. Berre mengatakan masih banyak warga Sulawesi Selatan di daerahnya yang akan segera dipulangkan.
Berre mengatakan secara terperinci belum menerima laporan pendataan dari anak buahnya mengenai sebaran asal eks Gafatar itu. Yang pasti, totalnya ada 574 eks Gafatar di Kalimantan Timur, tapi tidak semua berasal dari Sulawesi Selatan. "Saya belum memastikan jumlah eks Gafatar Sulawesi Selatan yang belum dipulangkan. Setidaknya ada 49 orang di Samarinda, dan itu belum termasuk di Paser dan Berau. Tentunya kami segera memulangkan semuanya," kata Berre, Rabu, 27 Januari, malam.
Pemulangan eks Gafatar, menurut Berre, tidak dilakukan secara serentak lantaran bergantung pada kemampuan anggaran setiap kabupaten/kota. Pemulangan eks Gafatar dilakukan dengan pertimbangan mereka dianggap orang hilang dan mengantisipasi pembakaran permukiman, seperti yang terjadi di Mempawah, Kalimantan Barat. Meski begitu, pihaknya menjamin semua eks Gafatar di daerahnya akan aman mengingat penjagaan dilakukan oleh aparat TNI-Polri.
Khusus di Kalimantan Timur, Berre mengatakan eks Gafatar mulai masuk pada 2013 dan semakin banyak pada 2015. Ciri-ciri mereka adalah tinggal secara eksklusif. Permukimannya berada jauh dari permukiman warga setempat. Rata-rata tinggal sekitar 1 kilometer dari jalan besar. Kesehariannya, eks Gafatar hidup dengan bercocok tanam berupa sayur-sayuran, jagung, dan singkong. Semua anak-anak eks Gafatar tidak ada yang bersekolah.
Kendati hidup eksklusif di daerah pelosok, Berre mengatakan mereka cukup diterima baik oleh masyarakat. Buktinya, saat eks Gafatar Sulawesi Selatan meninggalkan Kecamatan Samboja, ada beberapa warga yang menangis, mungkin karena merasa kehilangan. Berre menyebut sejauh ini aktivitas mereka tidak meresahkan. Program pertanian yang digencarkan eks Gafatar dinilainya berjalan cukup baik.
Koordinator Lapangan Eks Gafatar Samboja, Jalil, 28 tahun, menyatakan pihaknya senantiasa kooperatif dengan pemerintah setempat. Malah, pihaknya tidak mempersulit ketika ingin dipulangkan pascapembakaran permukiman eks Gafatar di Kalimantan Barat. Jalil menyebut itu membuktikan bahwa eks Gafatar tidak menentang pemerintah ataupun negara. Khusus di Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, totalnya ada 232 warga Sulawesi Selatan yang bermukim sejak lima bulan lalu.
Di Samboja, Jalil mengakui semua anak eks Gafatar tidak bersekolah formal. Namun tidak berarti pihaknya mengabaikan pendidikan. Semua anak eks Gafatar tetap menempuh pendidikan dengan metode sekolah rumah. Ada beberapa guru yang ikut dalam rombongan. Selama lima bulan di Samboja, pihaknya menggarap lahan sekitar 10 hektare. Perinciannya, 9 hektare untuk pertanian, dan 1 hektare untuk permukiman. "Semua berjalan baik," ucap alumnus Teknik Sipil Universitas Hasanuddin itu.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Sulawesi Selatan Asmanto Baso Lewa mengatakan pihaknya sebatas menunggu informasi dari pemerintah Kalimantan Timur mengenai pendataan eks Gafatar asal Sulawesi Selatan. Bila memang masih ada warganya yang tertahan di Kalimantan, pihaknya tentu akan berkoordinasi dengan pemerintah setempat agar segera dipulangkan. "Masalah itu adalah masalah nasional. Kami menunggu dan siap berkoordinasi terkait dengan pemulangan gelombang berikutnya," ucapnya singkat.
Juru bicara Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat, Komisaris Besar Frans Barung Mangera, menuturkan perihal pemulangan eks Gafatar asal Sulawesi Selatan dari Kalimantan merupakan domain pemerintah daerah. Kepolisian sebatas melakukan pengamanan ketika mereka datang. Soal pemulangan dan pembinaan eks Gafatar diserahkan ke pemerintah daerah. "Intinya, eks Gafatar itu tidak boleh dipandang sebagai musuh karena mereka itu bukan penjahat," tuturnya.
TRI YARI KURNIAWAN