TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X menolak pandangan yang menyatakan diperlukan revisi Peraturan Daerah Keistimewaan (perdais) DIY tentang Tata Cara Pengisian Jabatan, Pelantikan, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur sebelum Wakil Gubernur DIY yang baru ditetapkan.
Pandangan tersebut muncul karena perdais tersebut tidak mengatur tentang tata tertib pengisian jabatan wakil gubernur akibat wakil gubernur yang lama surut (wafat) sebelum masa tugasnya berakhir.
“Ya, enggak (perlu revisi) to. Dalam UU Keistimewaan (UU Nomor 13 Tahun 2012) sudah jelas. Kok ndadak (mesti) diubah,” kata Sultan saat ditemui di Kepatihan Yogyakarta, Kamis, 21 Januari 2016.
Menurut Sultan, belum adanya tata tertib yang diatur dalam perdais tersebut bukan suatu masalah. Yang terpenting, baik calon gubernur maupun calon wakil gubernur menyampaikan persyaratan administratif sebagaimana diamanatkan dalam UU Keistimewaan DIY.
“Seperti ijazah, tanggal lahir. Itu diperiksa dulu,” kata Sultan.
Sultan pun tidak mempersoalkan apabila waktu persiapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY untuk membentuk panitia khusus hingga pelantikan wakil gubernur yang baru menjadi mundur atau lebih lama.
“Ora opo opo mundur. Tapi mundur dari target apa?” kata Sultan.
Yang terpenting, menurut Sultan, Dewan sudah harus membentuk panitia khusus dan menyelesaikan semua aspek persyaratan administratif. Baru kemudian diajukan ke rapat paripurna dewan.
“Seperti yang dulu (saat pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY Periode 2012-2017),” kata Sultan.
Wakil Ketua DPRD DIY Arif Noor Hartanto dari Fraksi PAN menjelaskan saat ini Dewan akan kembali menggelar rapat konsultasi pada 22 Januari 2016 yang mengundang pimpinan dewan dan pimpinan fraksi.
Rapat konsultasi pada 20 Januari 2016 lalu hanya dihadiri dua fraksi, yaitu Fraksi PAN dan PKS. Dalam rapat tersebut, muncul pandangan perlunya membuat tata tertib mengenai tata cara pengisian jabatan wakil gubernur akibat wakil gubernur yang lama wafat. Selain karena perdais tidak mengatur, aturan dalam UU Keistimewaan terlalu sederhana.
Semestinya, lanjut Arif, perdais menjadi acuan karena merupakan penjabaran dari UU Keistimewaan. Bukan kemudian kembali mengacu pada UU tersebut. Persoalannya, perdais itu tidak mengatur secara detail.
Arif menduga, saat perdais itu dibuat, sempat muncul rasa sungkan untuk mengajukan aturan detail berkaitan dengan pengisian jabatan karena gubernur atau wakil gubernur wafat atau berhalangan tetap sebelum masa jabatan habis. “Seolah-olah dewan mendoakan jelek (lekas wafat),” kata Arif.
Selain membahas perlu tidaknya membuat tata tertib, rapat konsultasi juga menghadirkan eksekutif berkaitan dengan pendanaan proses penetapan wakil gubernur yang menggunakan dana keistimewaan.
“Meski belum dianggarkan, bisa diajukan perubahan anggaran ke Menteri Keuangan,” kata Arif.
PITO AGUSTIN RUDIANA