TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo mengatakan, dalam era keterbukaan informasi saat ini diperlukan kepiawaian seorang public relation atau juru bicara. Tugas dari seorang juru bicara yang juga dikenal dengan humas (hubungan masyarakat) adalah mampu mengantisipasi informasi negatif dan ujaran kebencian yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal.
"Sekarang ada ujaran kebencian. Agak ngeri karena sering memberikan informasi dan mengungkapkan kebencian menyebabkan konflik horizontal, menggiring orang untuk melakukan sesuatu," kata Presiden Jokowi di hadapan peserta Konvensi Nasional Humas 2015 Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 18 November 2015. (Lihat video Edaran Ujaran Kebencian Mulai Telan Korban, Ini Kata Kreator Meme Soal Surat Edaran Ujaran Kebencian)
Menurut Presiden, setiap humas tidak cukup mengandalkan retorika untuk berhubungan dengan publik. Jokowi meminta para humas baik di kementerian maupun lembaga negara menyiapkan orang-orang yang bisa meng-counter berita keliru dan bisa membangun kepercayaan masyarakat.
"Kecepatan informasi sangat luar biasa. Bersifat real time, kepentingannya beragam dan berbeda," ujar Jokowi. "Ada kepentingan politik, kepentingan ekonomi, bisnis, kepentingan idividu, dan organisasi. Kalau bacaan PR tidak tajam, bisa keliru dan menggiring sebuah opini."
Jokowi menambahkan, cara yang ampuh untuk mengantisipasi hal itu adalah dialog dengan masyarakat. Menurut Presiden, pemerintah saat ini tidak bisa membungkam media meski memuat berita dengan konten yang menyudutkan.
"Tuntutan untuk dialog, transparansi juga harus semakin kuat. Tak bisa dibendung. Jangan berharap negara bisa menghambat arus informasi," kata dia. "Dulu (pemerintah) bisa menguasai media mainstream, sekarang mana bisa?"
REZA ADITYA