TEMPO.CO, Jakarta - Kehidupan Sutomo alias Bung Tomo, tak semulus nama besarnya, dipuja dan dielu-elukan sebagai pahlawan. Menjelang masa tuanya, kondisi keuangan Bung Tomo jusru malah morat-marit.
Salah satu pejuang kemerdekaan asal Jawa Timur itu sempat mencoba peruntungan di bisnis percetakan, tapi meredup seiring menjamurnya pesaing di awal 1980-an.
Kondisi itulah yang membuat Menteri Kehutanan Soedjarwo iba. Menurut Bambang Sulistomo, putra kedua Bung Tomo, pejabat negara itu memberi keluarganya hak pengusahaan hutan (HPH) seluas 115 ribu hektare di Sintang secara cuma-cuma. "Dia lihat bapak saya hidupnya susah," kata Bambang saat berkunjung ke Kantor Tempo, pertengahan Oktober lalu.
SIMAK: Apa Peran Bung Tomo di Perang Surabaya 10 November 1945?
Selain karena kondisi ekonomi, pemberian cuma-cuma Soedjarwo ini atas alasan masa lalu. Dua lelaki ini pernah sama-sama berjuang di Solo, Jawa Tengah, bersama Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia. Sutomo adalah pendiri Barisan Pemberontakan menjelang pertempuran Surabaya 1945 terjadi.
Bung Tomo semula menolak ketika pemerintah memberinya hak konsesi hutan itu. Tapi, karena desakan dari sang istri, Sulistina, ia luluh juga. Menurut Sulistina, dengan konsesi itu, ada banyak hal yang bisa dilakukan suaminya. Salah satunya keinginan Bung Tomo untuk selalu menolong orang lain.
SIMAK: Pidato Bung Tomo, Dimulai Lagu Tiger Shark Lalu Allahu Akbar
Sayangnya, keluarga ini buta cara mengelola hutan. Akibatnya, lahan sempat tak terurus sekian tahun sampai Kementerian Kehutanan menunjuk rekanan dari Korea Selatan, PT Ahju Forestry Company Limited untuk menggarap lahan tersebut. Tapi bukannya untung, selepas Bung Tomo meninggal pada 1981, bisnis ini justru menyisakan hutang sekitar Rp 100 juta kepada keluarga.
Siapa sosok Sutomo alias Bung Tomo sesungguhnya? Baca selengkapnya Edisi Khusus Bung Tomo Penyebar Warta Palagan Surabaya di Majalah Tempo Pekan Ini.
TIM TEMPO