TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, mengendus aroma kejanggalan dalam kasus yang membelit Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi non-aktif, Bambang Widjojanto. Bagir menyarankan agar Jaksa Agung menghentikan kasus tersebut. “Ini sebenarnya kasus biasa, yang kalau ditimbang azas manfaatnya layak dihentikan,” ujar Bagir ketika dihubungi, Jumat, 16 Oktober 2015.
Kasus Bambang berawal dari laporan Sugianto Sabran, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang kalah bertarung dengan Ujang Iskandar saat pemilihan kepala daerah Kotawaringin Barat pada 2010. Sabran menuduh Bambang mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu saat sidang sengketa pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi.
Laporan itu lekas direspons polisi dengan menetapkan status tersangka dan menangkap Bambang. Akibat kasus tersebut, Bambang terpaksa meninggalkan jabatannya sebagai komisioner KPK. Sejumlah pemerhati hukum menilai kasus Bambang sarat muatan politis lantaran diproses tak lama setelah KPK menetapkan status tersangka terhadap Komisaris Jenderal Budi Gunawan atas tuduhan gratifikasi.
Menurut Bagir, polisi terlalu cepat menyimpulkan Bambang sebagai otak intelektual (intelectual dadder) kasus tersebut. Sebab, saksi yang memberikan keterangan palsu (dadder) saat itu belum menjalani proses hukum. “Mestinya pelaku dulu yang diproses, jika mereka terbukti bersalah, barulah otak intelektualnya yang diproses,” ujarnya. “Tapi bagaimana jika ternyata para saksi itu tidak terbukti bersalah?”
Kejanggalan kasus itu juga tampak sejak polisi meminta Bambang menjalani penyidikan tahap awal. Bambang, yang kala itu sedang mengantar anaknya ke sekolah, digelandang polisi dengan posisi tangan terborgol. “Kalau dilihat dari materi yang diperkarakan, semestinya penanganan kasus ini tidak serius betul. Makanya tidak salah jika publik mempertanyakan motif kasus itu,” tuturnya.
Menurut Bagir, penanganan kasus itu tak cukup menyakinkan publik bahwa kasus tersebut dilatari semata karena muatan hukum. “Publik cenderung melihat kasus ini sarat muatan politis,” katanya. Bahkan perintah Presiden Joko Widodo untuk menghentikan kasus itu juga diabaikan kepolisian ataupun kejaksaan. “Meski independen, secara etik kepolisian dan kejaksaan terikat oleh sikap Presiden,” katanya.
Menurut Bagir, kegaduhan akibat penanganganan kasus itu semestinya bisa dijadikan alasan bagi Jaksa Agung untuk mengesampingkan penyelesaian perkara (deponering). “Tapi diskresi itu harus berangkat dari azas kemaslahatan dan azas manfaat (doelmatigheid),” katanya. “Pertanyaannya, apakah meneruskan perkara ini ke pengadilan jauh lebih bermanfaat? Menurut saya, lebih baik dihentikan,” ucapnya.
RIKY FERDIANTO