TEMPO.CO, Jakarta - Sutjiptadi, mantan Kepala Polda Riau, mengungkapkan motif pembakaran hutan yang sering dilakukan oleh pengusaha. Menurut dia, setidaknya ada tiga motif pembakaran hutan yang terjadi setiap tahun, baik di Sumatera maupun di Kalimantan. "Tujuannya pengusaha ingin membersihkan lahan dengan biaya murah,” kata Sutjiptadi kepada Tempo, Selasa 15 September 2015.
Motif pertama, ungkap Sutjiptadi, usaha pembersihan lahan (land clearing) di areal hutan yang konsesinya dikuasai perusahaan. "Land clearing dengan cara membakar ini berbiaya murah dan paling sering dipakai pengusaha," kata Sutjiptadi yang menjabat Kepala Polda Riau selama 2006-2008 itu.
Padahal, kata dia, ada ketentuan yang mesti ditaati pengusaha. Yaitu, tanaman yang akan dibersihkan harus ditumpuk di atas hamparan beton, sehingga api tidak menjalar ke mana-mana. “Biayanya tentu cukup mahal. Untuk satu hektare lahan, biaya pembersihan sekitar lima juta rupiah."
Motif kedua, Sutjiptadi melanjutkan, pengaburan dana reboisasi. Setiap pengusaha yang memdapat izin mengelola lahan hutan harus melakukan penanaman ulang, yang dananya bersumber dari pemerintah. “Kebanyakan perusahaan tidak melakukan penanaman ulang. Supaya tidak ketahuan tidak melakukan reboisasi, ya dibakar saja,” katanya.
Motif ketiga adalah peremajaan pohon sawit. Menurut Sutjiptadi, peremajaan pohon sawit yang sudah tua kebanyakan langsung ditebang dan dibakar. Sedangkan aturannya, pembakaran pohon sawit yang sudah tidak produksi harus di landasan beton. “Tata cara itu tidak dijalankan. Mereka (pengusaha) selalu mencari cara praktis dan murah," ungkap dia tanpa menyebut nama pengusaha yang dimaksud.
Sutjiptadi menambahkan, pemerintah daerah harus tegas dalam menyikapi pelanggaran perusahaan pemilik konsesi hutan tersebut. “Mereka mendapat izin mengelola lahan dengan syarat. Di antara syarat itu harus punya menara tinjau, punya embung air, mempunyai tim patroli," katanya.
Pertanyaannya siapa pelaku pembakar hutan? "Tak usah cari siapa yang membakar. Cari saja yang memegang izin pengelolaan hutan," ujar Sutjiptadi, yang sewaktu menjadi Kepala Polda Riau dikenal getol menangkapi pembalak hutan. Menurutnya, kondisi darurat asap di Riau dan Kalimantan harus ditangani secara konsepsional, baik preventif maupun represif.
Cara preventif, menurut dia, dengan mengumpulkan pengusaha pemegang konsesi. Mereka perlu diingatkan bahwa pembakaran hutan memiliki risiko pidana, risiko politik, risiko kesehatan, dan kerusakan lingkungan. "Bagaimana pengusaha menyiapkan menara tinjau, membuat embung air, dan petugas patroli. Ini kewajiban," katanya.
Sedangkan cara represif, pemerintah daerah dan kepolisian mestinya sudah bisa mendeteksi. "Jika terindikasi pengusaha sengaja membakar, konsekuensinya harus dipidana dan izin usaha pengelolaan hutan bisa dicabut."
ARKHELAUS WISNU