TEMPO.CO, Jakarta - Greenpeace Indonesia menilai penegakan hukum soal kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia masih lemah. "Meski sudah ada gugatan bahkan vonis dari KLHK, masih banyak perusahaan belum bayar denda," ujar Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Asep Komaruddin kepada Tempo, Jumat, 6 Oktober 2023.
Padahal, kata dia, akar penyebab karhutla di Indonesia bersifat lintas negara. Meski kebakaran terjadi di Indonesia, dia mengatakan perusahaan-perusahaan penerima konsesi tak jarang justru berasal dari Malaysia atau Singapura.
"Bisa ditelisik wilayah-wilayah lahan gambut yang terbakar kadang-kadang berada di wilayah konsesi milik Singapura atrau Malasyia," ujar dia.
Itu sebabnya, kata dia, tanggung jawab penanggulangan karhutla tidak hanya dimiliki oleh satu negara. Dia mengatakan sudah ada kerja sama antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura untuk menanggulangi karhutla.
"Tekanan kami untuk lebih tegas, aktif, dan konkret lagi terkait dengan karhutla khususnya asap lintas batas negara, bukan cuma Indonesia, tetapi Malaysia dan Singapura," ujar dia.
Dia mengatakan, ketiga negara saling terkait dalam penanggulangan karhutla tak hanya karena lokasinya berdekatan, melainkan konsesi yang saling berkelindan. "Bukan cuma Indonesia, tetapi Malaysia dan Singapura juga karena saling terkait," ujar dia.
Karhutla, lanjut dia, paling sering terjadi di lahan-lahan gambut di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sumatera. Jika lahan gambut masih bagus, kata dia, karhutla tidak akan terjadi.
Perusahaan-perusahaan penerima konsesi, kata dia, turut terlibat secara aktif dalam karhutla. "Kalian memang enggak membakar, tapi turut berkontribusi membakar karena mengeringkan gambut," ujar dia.
Sementara itu, dia mengatakan upaya pembasahan kembali lahan gambut masih belum optimal. "Kami lihat di lapangan tidak berjalan dengan baik. Kalau berjalan dengan baik, sebetulnya bisa meminimalisir karhutla," ujar dia.
Pilihan Editor: Nasdem Belum Cabut Keanggotaan Syahrul Yasin Limpo