TEMPO.CO, Pemalang - Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Muhammad Hendrasto mengatakan, dari sekian banyak gunung api di Indonesia, Gunung Slamet termasuk gunung yang bersifat jinak. "Dalam sejarah yang tercatat, erupsi Gunung Slamet hanya (memuntahkan) abu saja, tidak sampai awan panas," ujarnya kepada Tempo, Kamis, 13 Maret 2014.
Hendrasto mengatakan sejarah erupsi Gunung Slamet baru tercatat sejak tahun 1600-an. Dalam rentang waktu 400 tahun itu, erupsi Gunung Slamet hanya didominasi letusan abu. Sisanya hanya peningkatan aktivitas (dari status normal, waspada, sampai siaga). Hingga kini, belum ada sejarah yang mengisahkan ihwal warga di lereng Gunung Slamet yang mengungsi saat terjadi erupsi.
Sebelum tercatat dalam sejarah, kata dia, erupsi Gunung Slamet pernah memuntahkan awan panas dalam rentang waktu ribuan tahun lalu. Munculnya awan panas termasuk dalam serangkaian proses pembentukan gunung berapi. "Sama dengan Krakatau yang sejarahnya sampai menimbulkan tsunami," ujarnya.
Kepala Pos Pengamatan Gunung Slamet di Desa Gambuhan, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang, Sudrajat mengatakan sejarah erupsi Gunung Slamet baru tercatat pada masa kolonial Belanda. "Memang tidak ada sejarah tertulis yang mengisahkan ihwal erupsi yang memuntahkan awan panas hingga lava," kata Sudrajat kepada Tempo. (baca: Hujan Abu Mulai Turun di Lereng Gunung Slamet)
Namun, kata Sudrajat, bukti adanya luncuran awan panas dan aliran lava dari kawah mudah ditemukan di lereng gunung berketinggian 3.428 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu. Salah satunya adalah banyaknya batu karst di Kecamatan Bojong dan sekitarnya. "Batu karst itu hasil pembusukan awan panas," ujarnya.
Baca Juga:
Adapun bukti bekas aliran lava dari kawah Gunung Slamet bisa dilihat pada banyaknya batu-batu berukuran besar berupa lempengan halus. Halusnya batu-batu di aliran sungai berhulu di Gunung Slamet itu akibat tergerus air selama ribuan tahun. "Kalau tidak terkena air, permukaannya agak kasar, berbintik-bintik," kata Sudrajat.
Meski belum ada sejarah yang mencatat kengerian akibat erupsinya, Hendrasto mengimbau warga untuk tidak menyepelekan gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa itu. "Karena alam tidak bisa diterka bagaimana maunya," kata Hendrasto. Dia mencontohkan, erupsi Merapi pada 2010 lalu sampai memakan korban karena banyak yang beranggapan gunung itu tidak berbahaya.
DINDA LEO LISTY
Berita Terpopuler
Mega Bawa Jokowi ke Makam Bung Karno
Di KPK, Ruhut Ungkap Aset Anas di PT Panahatan
Ditanya Sutan, Ruhut: Tanya pada Rumput Bergoyang
Kikuk Ikut Mega, Jokowi Salah Masuk Mobil
Nyekar Bung Karno, Jokowi Absen Makan dengan SBY