TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi berharap masalah revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Kita Undang-Undang Hukum Pidana tidak berlarut-larut. "Mari semua pihak, apakah KPK, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan DPR tidak berpolemik lebih jauh," kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P., di Jakarta, Jumat, 28 Februari 2014.
Johan mengatakan, pesan keberatan KPK terhadap revisi RUU KUHAP dan KUHP seharusnya menjadi perhatian penting bagi pemerintah. Atas keberatan revisi undang-undang itu, KPK telah menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR. "Jadi, jangan ada lagi saling berbalas pantun," tutur Johan.
KPK, kata Johan, berharap pembahasan revisi RUU KUHAP dan KUHP dilakukan bersamaan. Tapi, pembahasan ini tidak hanya melibatkan KPK saja. Seharusnya, kata Johan, pembahasan melibatkan Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Badan Narkotika Nasional.
Johan melanjutkan, KPK meminta pemerintah terbuka dalam menerima usulan. Sebab, ini menyangkut upaya pemberantasan korupsi dan sebagian pasalnya menyangkut kewenangan KPK. "Mari kita bersama-sama membahas dengan serius. Jangan berslogan lagi," kata Johan.
Menteri Hukum Amir Syamsuddin sudah berencana mengundang KPK untuk membahas revisi RUU KUHAP dan KUHP. Rencananya, pembahasan tersebut akan dilakukan pada pekan depan. Namun, Johan mengungkapkan, belum ada surat undangan yang datang dari pemerintah. "Undangan belum ada," ujar Johan.
Sebelumnya, KPK mengkhawatirkan pembahasan revisi KUHAP disusupi kepentingan sponsor para koruptor. Sebab, banyak pasal dalam naskah beleid itu yang bisa melemahkan pemberantasan korupsi, terutama pasal soal kewenangan yang dapat menghentikan penyadapan. Padahal selama ini penyadapan merupakan senjata utama KPK dalam membongkar kasus korupsi.
SINGGIH SOARES