TEMPO.CO, Semarang - Nasi tumpeng teronggok pada meja kecil di gedung tua di Jl. Gendong 1144, Kelurahan Harjosari, Kota Semarang, Senin, 7 Oktober 2013. Ada aneka sayuran, nasi putih, tahu, tempe, daging ayam, dan telur. Di pucuk tumpeng tertancap bendera merah putih kecil terbuat dari kertas minyak. Sejumlah orang duduk melingkar pada tikar di lantai usang. Doa dirapal oleh modin. Mereka membaca tahlil.
Ritual doa ini ditujukan untuk menyelamatkan gedung tua yang nyaris roboh. Aktivis Komunitas Pegiat Sejarah Kota Semarang ingin menyelamatkan situs gedung tua saksi sejarah pergerakan Sarekat Islam. “Sebagai budaya orang timur selamatan kecil bertujuan agar upaya penyelamatan lebih lancar," kata Rukardi, Koordinator KPS Kota Semarang.
Ritual itu digelar sebelum tukang yang dikirim Pemerintah Kota Semarang memasang bambu untuk menyangga atap gedung. Para aktivis menggelar doa dan ritual makan tumpeng sebagai bentuk kampanye membangun kepedulian masyarakat sekitar gedung terhadap cagar budaya.
Menurut Rukardi, gedung itu merupakan saksi sejarah. Sejak tahun 1919 gedung itu menjadi kantor Sarekat Islam dan saksi bisu bagaimana Tan Malaka mengajar anak-anak pribumi. Catatan Komunitas Pegiat Sejarah Kota Semarang menyatakan, gedung itu menjadi saksi aktivis awal revolusi nasional era 1945 melawan Belanda.
Di kantor SI itu, lahir politikus kaliber dunia, seperti Semaoen, Tan Malaka, Alimin, dan Djamaludin Tamin. Selain itu gedung yang banyak didominasi oleh pilar kayu penyangga itu pernah menjadi pos Palang Merah Indonesia saat peristiwa pertempuran lima hari di Semarang.
Pengamat arsitektur bangunan tua Kota Semarang, Enggar Adibroto, menyatakan kondisi umum gedung itu rawan. Struktur atap nyaris roboh. Ini menimbulkan retakan pada tembok. “Penyelamatan masih bisa dilakukan karena fondasi masih kokoh,” kata dia.
EDI FAISOL