TEMPO.CO, Balikpapan -- Sejak 2006 hingga 2012, tercatat ada 182 kasus kelalaian medik --atau bahasa awamnya malpraktek-- yang terbukti dilakukan dokter di seluruh Indonesia. Malpraktek ini terbukti dilakukan dokter setelah melalui sidang yang dilakukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
"Akibat dari malpraktek yang terjadi selama ini, sudah ada 29 dokter yang izin prakteknya dicabut sementara. Ada yang tiga bulan, ada yang enam bulan,” kata Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Indonesia, Prof. Paul L Tahalele, Senin, 25 Maret 2013.
Menurut Paul, dicabutnya izin praktek tersebut seperti pukulan bagi dunia kedokteran. Karena, kata dia, dengan mencabut izin praktek, sama saja menghukum dokter tersebut, dengan hukuman penjara di atas 10 tahun, bahkan hukuman penjara seumur hidup.
"Dokter tidak harus masuk penjara, cukup saja di cabut izinnya," katanya. Dokter, kata Paul, merupakan bagian dari masyarakat yang krusial, yang sangat kental dibutuhkan oleh masyarakat. "Kalau izin dicabut itu sama saja dengan menghukum 10 tahun lebih, mungkin seumur hidup. Sebab, dia tahu jika memulai praktek lagi orang tidak akan percaya. Jadi, oleh karena itu, ini harus dijaga,” katanya.
Dari 182 kasus malpraktek di seluruh Indonesia itu, sebanyak 60 kasus dilakukan dokter umum, 49 kasus dilakukan dokter bedah, 33 kasus dilakukan dokter kandungan, dan 16 kasus dilakukan dokter spesialis anak. “Siasanya di bawah 10 macam-macam kasus yang dilaporkan,” katanya.
Selain itu, ada enam dokter yang diharuskan mengenyam pendidikan ulang. Artinya, pengetahuan dokter kurang sehingga menyebabkan terjadinya kasus malpraktek. “Mereka kurang dalam pendidikannya sehingga ilmu yang didapatkan itu kurang dipraktekn atau terjadi penyimpangan dari standar pelayanan atau penyimpangan dari ilmu yang diberikan. Maka, dia wajib sekolah lagi dalam bidang tertentu,” ucapnya.
Di samping kasus malpraktek, beberapa kasus lain yang juga ikut menjerat dokter ke ranah pidana hingga pencabutan izin praktek di antaranya soal komunikasi dengan pasien, ingkar janji, penelantaran pasien, serta masalah kompetensi dokter.
Soal komunikasi ini juga yang sering dilaporkan, misalnya hanya periksa sebentar lalu dia keluar. Itu kan enggak boleh karena enggak puas orang. Itu yang harus diperbaiki, komunikasi efektif dengan pasien. Dia harus menjelaskan penyakitnya apa, gejalanya apa, diberi apa, itu harus dioperasi atau tidak. Jadi, waktu kita periksa, harus dijelaskan, sekarang semua harus jelaskan,” katanya.
Termasuk soal biaya, juga sering dikeluhkan pasien ataupun masyarakat, karena dokter sering dianggap bohong. “Misalnya sewaktu mau operasi dikatakan semuanya Rp 20 juta, tapi setelah selesai ternyata kuitansi yang disodorkan Rp 30 juta. Ini kan juga namanya dianggap dokter ingkar janji,” katanya.
Begitu juga kata Paul, soal tudingan dokter menelantarkan pasien, juga menjadi salah satu keluhan yang sering disampaikan masyarakat. “Kadang dokter, ketika pergi hadiri kongres atau apa pun, tapi tidak memperkenalkan penggantinya. Harusnya dokter itu memperkenalkan siapa penggantinya,” ujarnya.
SG WIBISONO
Catatan Ralat: Sempat terjadi kesalahan yang mengganggu atas berita ini mengenai lokasi malpraktek yang dilaporkan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran. Hak koreksi Kementerian Kesehatan bisa dibaca di sini.
Berita Terpopuler:
Pejabat DKI Mundur, Meninggalkan Jokowi
Cara Pargono Memeras Asep Hendro
DPRD Jakarta Tuding Jokowi Sebabkan Pejabat Mundur
Pilihan 2014 Cuma Mega, Prabowo, dan Ical
Di Hugo's Cafe, Deki Akrab dengan Anggota Kopassus