TEMPO.CO, Surabaya - Gubernur Jawa Timur Soekarwo kembali menegaskan bahwa biaya penunjang operasionalnya tidak termasuk penghasilan yang masuk ke kantong pribadi kepala daerah. Dalam sebulan, ia mengaku hanya menerima sekitar Rp 76 juta, terdiri dari gaji pokok, tunjangan jabatan, dan insentif dari pendapatan asli daerah (PAD).
Sedangkan biaya operasional yang dihitung dari 0,15 persen PAD dikelola oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD). "Biaya operasional bukan pendapatan. Tidak boleh melebihi, kalau ada lebih setiap tahun dikembalikan. Kan itu sesuatu yang jelas, diatur undang-undang dan peraturan pemerintah," kata Soekarwo pada wartawan, Rabu, 19 Desember 2012.
Sebelumnya, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran menyebutkan, penghasilan Soekarwo tertinggi di Indonesia, mencapai Rp 642.360.003 per bulan.
Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Ucok Sky Khadafi, mengatakan, biaya operasional, meski dikelola SKPD, juga diperuntukkan bagi para kepala daerah. Karena itu, pihaknya memasukkan dana yang nilainya sangat besar itu ke dalam penghasilan yang diterima gubernur dan wakil gubernur. "Logikanya kan gini, uang itu buat mereka sendiri. Memang SKPD yang bayar, tapi itu kan buat dia (kepala daerah) juga, untuk mereka sendiri," kata Ucok pada Tempo.
Pemisahan antara penghasilan gubernur yang dibawa pulang dan biaya penunjang operasional justru dinilai membingungkan. Menurut Ucok, dibawa pulang atau tidak, toh uang tersebut digunakan untuk kepentingan gubernur. Ucok mencontohkan biaya pemeliharaan rumah, satpam, ataupun dana kunjungan ke daerah-daerah merupakan kepentingan personal sebagai gubernur. "Susah memisahkan karena sangat jelimet. Misalnya, dia kunjungan, mau ngajak siapa, kan dia (kepala daerah) yang ngatur," katanya.
Ucok memandang kerancuan ini berawal dari Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 yang memang mengatur tentang Biaya Operasional Penunjang. Aturan ini, katanya, memanjakan kepala daerah. Apalagi faktanya, audit Badan Pemeriksaan Keuangan juga tidak pernah melakukan pendalaman dan pengawasan tentang penggunaan biaya operasional tersebut. Di sinilah muncul loss dan celah untuk disalahgunakan. Karena itu, Fitra meminta agar peraturan tersebut dihapus.
AGITA SUKMA LISTYANTI