TEMPO.CO, Semarang - Di bawah guyuran sinar rembulan, sekitar 100 muda-mudi berjalan mengelilingi bundaran Tugu Muda, Kota Semarang, Senin malam, 1 Oktober 2012. Mereka membawa lilin putih yang dinyalakan. Barisan paling depan membawa sebuah spanduk bertuliskan: “Deklarasi Lilin Perdamaian untuk Semarang tanpa Kekerasan”. Para pengguna jalan di sekitar Tugu Muda juga menonton aksi tersebut.
Kaum muda dari berbagai lintas agama itu ingin menebarkan benih perdamaian di Kota Semarang. Mereka resah dengan semakin banyaknya aksi kekerasan, baik fisik maupun psikologis, yang dialami para penganut keyakinan di Indonesia. Setelah mengelilingi Tugu Muda, rombongan itu masuk ke tengah area Tugu Muda. Meski berasal dari latar belakang pemeluk agama yang berbeda, mereka berbaur menjadi satu. Status agama tampak tak kentara dan sudah tak dipersoalkan.
Mereka kemudian membentuk lingkaran. Di sinilah proses acara refleksi dilakukan. Masing masing agama menyajikan seni pertunjukan. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat Walisongo Semarang menyajikan puisi, aksi teatrikal, tari-tarian, hingga salawatan. Pemuda Agama Konghucu serta Komunitas Persaudaraan Sejati (Kompres) Semarang menyajikan puisi serta nyanyi-nyanyian. Di sela-sela pertunjukan seni itu, ada pemuda-pemudi yang memberikan ceramah refleksi tentang perdamaian antar maupun intern umat beragama.
Deklarasi Semarang tanpa kekerasan itu diinisiasi beberapa organisasi kaum muda di Kota Semarang, seperti Lembaga Studi Sosial dan Agama, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Generasi Muda Jawa Tengah, Komunitas Persaudaraan Sejati (Kompres) Semarang, Pemuda Agama Khonghucu (PAKIN) Semarang, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Walisongo, serta Aliansi Jurnalis Independen Semarang.
Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama Tedi Kholiluddin menyatakan, hampir tiap hari bangsa Indonesia selalu disuguhi berita-berita 'teater' kekerasan. “Ada yang dibumbui perbedaan keyakinan keagamaan hingga tawuran anak sekolah,” kata kandidat doktor sosiologi agama di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga itu.
Menurut dia, jika kekerasan itu terus-menerus terjadi, tentu membuat miris: betapa harkat kemanusiaan dihargai murah. “Sudah tak terhitung berapa ratusan nyawa melayang. Sudah lunturkah sikap empati terhadap sesama?” kata Tedi.
Ia bersama kaum muda lain menginginkan agar tak terjadi kekerasan di Kota Semarang. Menurut dia, Semarang termasuk wilayah yang berpotensi terjadi kekerasan. Ia mencontohkan, pekan lalu, ada sekelompok orang yang mengatasnamakan umat Islam bentrok dengan aparat keamanan. Sekelompok orang melakukan unjuk rasa dan ingin masuk ke sebuah restoran yang identik dengan Barat. “Kami berharap tidak ada lagi aksi kekerasan di Semarang,” kata Tedi.
Di ujung deklarasi, muda-mudi itu berdiri dengan mengepalkan tangan kiri ke atas. Mereka bersama-sama membacakan ikrar deklarasi Tugu Muda. Sekitar jam sembilan malam, semua rangkaian acara usai. Tak lupa, muda-mudi yang memiliki pluralitas dan kemajemukan itu juga berdoa bersama-sama. Meski yang hadir berasal dari lintas agama, doa dipimpin oleh pemeluk agama Konghucu. Para pemeluk agama Islam juga mengikutinya.
ROFIUDDIN
Terpopuler:
Anwar Congo Protes Film ''The Act of Killing''
Pemerintah Belum Mau Minta Maaf atas Tragedi 1965
Wawancara Sutradara Film Jagal: Akting Anwar Congo
Algojo Penumpas PKI Dibayar Rp 150 Ribu dan Beras
Pembuatan Film Jagal Menyakitkan Sutradaranya