TEMPO.CO, Jakarta - Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengaku kesulitan melakukan pengawasan pungutan liar di berbagai sekolah jika hanya mengandalkan tenaga dari institusinya. Sebab, jumlah pengawas sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah sekolah yang harus diawasi.
"Cakupan wilayah pengawasannya terlalu besar," kata Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Haryono Umar ketika ditemui Tempo di kantornya, Senin, 23 Juli 2012.
Saat ini jumlah pengawas yang hanya berjumlah 250 orang cukup sulit mencakup semua sekolah di seluruh Indonesia, terutama di pedalaman.
Untuk itu, kata Haryono, inspektorat-inspektorat di daerah perlu diberdayakan. Apalagi yang berkewenangan menindak sekolah yang melanggar adalah bupati atau wali kota di daerah tersebut, bukan kementerian.
Haryono mengatakan, untuk menanggapi laporan dari daerah mengenai adanya pungutan yang tidak sesuai aturan, pihaknya minimal membutuhkan waktu satu minggu untuk terjun ke daerah. "Sedangkan, kalau inspektorat daerah ikut mengawasi, respons pasti akan lebih cepat," katanya.
Kendala lain dalam mengatasi pungutan liar, menurut Haryono, adalah kurangnya informasi mengenai larangan pungutan kepada orang tua murid. "Orang tua murid kadang ikut-ikut saja apa yang dikatakan sekolah," ujarnya.
Juni lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 44 tahun 2012 yang membolehkan sekolah swasta memungut dana dari masyarakat. Namun, pemerintah tetap melarang adanya pungutan di sekolah negeri. Sekalipun telah ditetapkan, beberapa sekolah negeri masih melakukan pungutan kepada orang tua murid.
GADI MAKITAN