"Kalau kamu suka menolong orang lain, suatu saat pasti akan ada orang menolong ketika kamu sedang dalam kesulitan."
Itulah pesan yang selalu saya ingat dari mendiang ayah: Kastawi Martomihardjo. Ayah saya adalah guru dan penilik sekolah lulusan Sekolah Normal—sekolah pendidikan guru zaman Belanda—di Blitar, Jawa Timur. Ayah merupakan orang Indonesia pertama di Probolinggo, Jawa Timur, yang menjadi kepala sekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), setingkat sekolah dasar, pada 1942. Sedangkan ibu saya, Saleha, mengurus rumah tangga.
Saya lahir pada 20 September 1926 di Jalan Embong Arab Gang 4, Malang, Jawa Timur. Sekarang namanya menjadi Jalan Syarif al-Qodri, tapi masih dikenal sebagai Kampung Arab. Saya anak pertama dari lima bersaudara, tiga laki-laki dan dua perempuan. Saya pindah ke Probolinggo karena Ayah bertugas di sana. Saya juga memulai pendidikan di HIS Probolinggo.
Lulus dari HIS pada 1939, saya melanjutkan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setingkat sekolah menengah pertama, di Probolinggo. Pendidikan saya terputus ketika Jepang menggusur penjajah Belanda. Lembaga pendidikan berbahasa Belanda banyak yang bubar, termasuk MULO Probolinggo. Saya meneruskan pendidikan ke sekolah negeri di Jalan Celaket, Malang, dan lulus pada 1943.
Kendati tinggal dalam lingkungan keluarga guru, saya bercita-cita menjadi insinyur. Tak pernah terpikir untuk masuk tentara, apalagi mencapai bintang empat angkatan laut. Sampai akhirnya ada tim rekrutmen dari Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) untuk masuk angkatan kedua. Sekolah ini mempersiapkan mualim—sebagai perwira dek dan perwira mesin—dalam pelayaran antarpulau. Saya terkesima oleh penampilan para pelaut ini: pakaian seragam biru gelap dan peci biru dengan tanda kemudi.
Saya akhirnya diterima di SPT Cilacap, Jawa Tengah. Inilah jalan hidup. Sebelumnya, saya gagal masuk tes calon perwira tentara Pembela Tanah Air di Surabaya. Saya kecewa ketika dinyatakan gagal karena memiliki amandel. Namun kekecewaan itu hanya selintas karena kebetulan tim rekrutmen SPT datang. Tanpa pikir panjang, saya mendaftar dan diterima.
Saya masuk sepuluh besar di sekolah pelayaran dan diangkat menjadi guru di SPT Pasuruan, Jawa Timur. Ketika proklamasi kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut, lembaga keamanan nonmiliter. Selang sehari, sekolah di Pasuruan membentuk BKR.
BKR Pasuruan lalu berubah menjadi Angkatan Laut Batalion III Pangkalan IX. Saya mendapat pangkat letnan sebagai perwira logistik. Pada Desember 1948, saya ditetapkan sebagai orang kedua, di bawah Mayor John Lie, dalam kapal PPB-58 LB. Pelayaran pertama menuju Phuket, Thailand, membawa karet untuk ditukar dengan senjata. Karena kepiawaian John Lie—dikenal sebagai The Smuggler with the Bible—kapal dengan misi menyuplai senjata buat pasukan Indonesia ini selalu aman.
Saya juga terjun dalam pertempuran menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan pada 1950. Sebagai Kepala Staf Operasi IV Markas Besar Angkatan Laut, saya juga bertugas menyiapkan operasi militer menumpas Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada 1958. Saya menjalani semua operasi itu tanpa rasa takut. Militer sudah teken mati dalam setiap operasi.
***