TEMPO.CO, Jakarta - Kabar duka berpulangnya Cendikiawan asal Flores, Ignatius Nasu Kleden atau Ignas Kleden dikonfirmasi oleh kerabat dekatnya Hermien Y Kleden. Hermien mengatakan Ignas Kleden berpulang pukul 03.46 Waktu Indonesia bagian Barat (WIB) di Rumah Sakit dr. Suyoto pada Senin dini hari, 22 Januari 2024.
Hermien juga mengatakan, Ignas Kleden berpulang setelah dua tahun mengidap gangguan ginjal yang mengharuskannya dirawat secara intensif selama sepekan. "Setelah menderita gangguan ginjal selama dua tahun lebih, Ignas Kleden berpulang pada 22 Januari. Terakhir dirawat di RS Suyoto, Jakarta Selatan selama satu pekan," kata Hermien saat dihubungi Tempo pada Senin pagi, 22 Januari 2024.
Menurut informasi yang Tempo dapatkan secara eksklusif, Ignas Kleden akan disemayamkan di Rumah Duka Corolus di Lantai 8, Ruangan Mikael E yang terletak di Salemba, Jakarta Pusat. Setelah agenda persemayaman, maka akan dilaksanakan Misa Requiem dan tutup peti yang akan dilaksanakan pada Selasa, 23 Januari 2024 pada 18.30 WIB dan Misa Pelepasan akan dilaksanakan pada Rabu, 24 Januari 2024 pada pukul 10.00.
Ignas Kleden juga akan dikramasi di Krematorium Rumah Duka Carolus, Ruang Paulus Lantai R pada Rabu, 24 Januari 2024 pukul 11.00 WIB. Hermien mengatakan Ignas Kleden berpulang di usia 75 tahun, meninggalkan istrinya Ninuk Kleden yang merupakan seorang Antropolog dan putra tunggalnya Paskal Kleden.
Profil Ignas Kleden
Tak hanya sebagai cendekiawan, Ignas dikenal sebagai sosok sastrawan, sosiolog, dan kritikus sastra yang lahir pada 19 Mei 1948 di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Dikutip dari laman Sastra Indonesia, Ignas Kleden sempat bersekolah di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi/STFT Ledalero, Maumere, Flores pada 1972, Lalu, meraih gelar Master of Art bidang filsafat dari Hochschule fuer Philosophie, Muenchen, Jerman pada 1982, dan meraih gelar Doktor bidang Sosiologi dari Universitas Bielefeld, Jerman pada 1995.
Ignas juga pernah bekerja sebagai penerjemah buku-buku teologi di Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores. Ia sempat pula bekerja sebagai editor pada yayasan Obor Jakarta (1976-1977), Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta (1977-1978), dan Society For Political and Economic Studies, Jakarta. Tahun 2000 ia turut mendirikan Go East yang kini menjadi Pusat Pengkajian Indonesia Timur.
Ketika masih di Flores, ia sudah sering kontak dengan majalah Basis di Yogya, Budaya Jaya di Jakarta dan menulis artikel semipolemik untuk majalah TEMPO. Setelah hijrah ke Ibu Kota, 1974, Ignas makin aktif menulis baik di majalah maupun jurnal, dan menjadi kolomnis tetap TEMPO. Selain menulis, sosiolog dan sarjana filsafat ini banyak berkarir pada perbukuan dan penelitian. Ia pernah bekerja sebagai penerjemah buku-buku teologi di Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores.
Di Jakarta, Ignas sampat bekerja sebagai editor di beberapa penerbit buku, sampai akhirnya menjadi peneliti di lembaga penelitian The Society for Political and Economical Studies. Pada 2000, ia turut mendirikan Go East yang kini menjadi Pusat Pengkajian Indonesia Timur. Penguasaan beberapa bahasa asing, latar pendidikan teologis, filsafat dan sosiologi banyak membantu peningkatan karirnya.
Buku Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (Cerpen Pilihan Kompas 1997) juga memuat esainya, "Simbolis Cerita Pendek". Kumpulan esai tentang perbukuan, Buku dalam Indonesia Baru (1999), memuat salah satu tulisannya, "Buku di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik tentang Kebudayaan". Buku kumpulan esainya adalah Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (1988) dan Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (2004).
Ia menulis kata pengantar untuk Mempertimbangkan Tradisi karya Rendra (1993), Catatan Pinggir 2 karya Goenawan Mohamad (1989), dan Yel karya Putu Wijaya (1995). Tahun 2003, bersama sastrawan Sapardi Djoko Damono, menerima Penghargaan Achmad Bakrie. Ia dinilai telah mendorong dunia ilmu pengetahuan dan pemikiran sosial di Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih tajam lewat essai dan kritik kebudayaannya.
Bermusik telah ia gemari sejak di seminari. Musik klasik adalah kesukaannya. Kalau ingin yang manis-manis, ia mendengarkan Mozart. Jika mau yang sedikit berenergi, “Saya mendengarkan Bethoven atau Bach,” kata pengagum Russell dan Einstein ini.
Ignas Kleen pun peminat sastra, baik sastra dunia seperti sastra Rusia, Jerman, maupun sastra negeri. Untuk Indonesia, ia terutama menyukai prosa Pramoedya Ananta Toer, serta puisi Chairil Anwar dan Amir Hamzah.
Pilihan Editor: Profil Doni Monardo, Mantan Ketua BNPB yang Meninggal Hari Ini