TEMPO.CO, Jakarta - Perampas kartu memori milik kamerawan TVOne terancam hukuman penjara maksimal dua tahun atau denda sebesar Rp 500 juta. Pelaku dinilai melanggar Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Sungguh ironis,” kata Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga dan Hubungan Luar Negeri Dewan Pers, Bekti Nugroho, seusai menerima laporan TVOne di Gedung Dewan Pers, Rabu, 28 Maret 2012. Pihak TVOne melaporkan kekerasan terhadap wartawan dan perampasan kartu memori yang dialami Adi Hartanto oleh aparat kepolisian. Kekerasan terjadi saat Adi meliput aksi demonstrasi Selasa, 27 Maret 2012, di Gambir
Rombongan TVOne diterima oleh Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Agus Sudibyo dan Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga dan Hubungan Luar Negeri Bekti Nugroho. Selain pengaduan, Dewan Pers juga menerima bukti dalam bentuk rekaman.
Menurut Bekti, peristiwa perampasan kartu memori merupaka sebuah ironi. Sebab, baru sekitar sebulan yang lalu nota kesepahaman antara Markas Besar Polri dengan Dewan Pers ditandatangani, tepatnya pada peringatan Hari Pers Nasional di Jambi, 9 Februari lalu.
"MoU itu muncul karena sudah ada kesepahaman antara Mabes Polri dengan Dewan Pers terkait kemerdekaan pers. Seharusnya, ketika ada teman-teman meliput demo, aparat penegak hukum melindungi kerja wartawan," kata dia. Semakin ironis, Bekti melanjutkan, pelaku yang merampas kartu memori tersebut adalah polisi. "Polisi itu aparat penegak hukum, kok malah melanggar hukum. Ini kan sangat tidak pantas," kata dia.
Sebagai tindak lanjut, kata Bekti, Dewan Pers akan mengumpulkan konstituennya dan memberi pernyataan resmi agar kejadian serupa tidak terulang lagi. "Tidak mau lagi ada kejadian kekerasan terhadap pers. Kemarin-kemarin sudah tidak ada, tetapi kok ada lagi. Lebih aneh sampai dia meminta kartu memori, " katanya.
Bagi Dewan Pers, Agus melanjutkan, tindakan oknum aparat Brimob melakukan kekerasan dan mengambil paksa adalah berlebihan. Alasannya, aparat hanya diperbolehkan mencegah wartawan mengambil gambar atau meliput dengan alasan spesifik, yakni terkait isu strategis seperti terorisme atau isu privasi. "Ini hanya terkait bagaimana pengamanan aparat keamanan terhadap demonstrasi. Itu bukan alasan yang kuat melarang teman-teman wartawan untuk mengambil gambar atau meliput," katanya.
ARYANI KRISTANTI