TEMPO.CO, Jakarta- Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) yang sudah diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada 23 Mei 2011 lalu diminta dikembalikan lagi kepada Presiden. Soalnya, RUU tersebut secara substansial problematik atau mengandung banyak masalah.
"Buatlah naskah yang baru," kata Ketua Badan Pengurus Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid, usai menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Mengkritisi RUU Keamanan Nasional, di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Senin, 20 Februari 2012.
Menurut dia, RUU Kamnas yang sudah diajukan Presiden ke DPR sulit untuk diperbaiki karena berangkat dari konstruksi paradigma yang keliru. "Misalnya, diambil dari banyak nilai atau norma yang diperlakukan pada masa keadaan-keadaan darurat," ujar Usman.
Dalam konteks Indonesia, Usman menerangkan, pernah diberlakukan 4 kali keadaan darurat. Pertama di zaman kolonial Belanda di mana diberlakukan keadaan darurat dan darurat perang. Saat itu, keadaan darurat diberlakukan untuk mengamankan seluruh proyek pengambilan sumber daya alam rempah-rempah oleh pihak Belanda.
"Dan mereka (Belanda) perlu memastikan bahwa keamanan dalam keadaan stabil, baik dari ancaman dalam negeri maupun ancaman luar negeri," ucap Usman.
Keadaan darurat kedua diberlakukan pada tahun 1946 dan seterusnya yang justru mencerminkan bahwa rezim pemerintahan yang terbentuk pada masa itu memiliki banyak kerapuhan. "Karena terdapat perbedaan-perbedaan dan pertentangan politik di dalamnya," kata Usman.
Selanjutnya, ujar Usman, keadaan darurat ketiga terjadi ketika pemberlakuan UU No. 74 tahun 1957 yang merupakan respons dari terjadinya berbagai pergolakan di daerah, misalnya pemberontakan yang dilakukan Daud Beureuh di Aceh, Kahar Muzakar di Sulawesi, serta Kartosuwiryo di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Pemberlakuan UU keadaan darurat kala itu lebih diakibatkan terjadinya pemberontakan di dalam negeri atau pergolakan yang berurusan dengan stabilitas pemerintahan. "Termasuk di dalamnya adalah pertentangan antar partai politik, militer, dan eksekutif," ucap Usman.
Yang terakhir, keadaan darurat diberlakukan pada akhir tahun 1950-an ketika Presiden Soekarno mengeluarkan UU No. 23 tahun 1959. "Empat undang-undang dalam keadaan darurat ini yang sebenarnya lebih menonjol dalam RUU Kamnas yang sekarang ini diajukan," kata Usman.
Pada 22 Desember 2010 lalu pembuatan draft RUU Keamanan Nasional sudah disepakati dan diparaf oleh wakil lintas instansi, terutama TNI dan Polri. Pada 23 Mei 2011 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sudah mengajukan RUU tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah RI.
Dalam sejarahnya, RUU Keamanan Nasional itu telah memicu polemik sejak 2006 lalu hingga akhirnya Presiden memutuskan menariknya dari DPR. Polemik RUU tersebut terjadi pertama kali ketika RUU itu diajukan oleh Departemen Pertahanan bersama Markas Besar TNI di mana menggambarkan bahwa penataan kelembagaan sektor pertahanan dan keamanan belum seirama. Hal ini tecermin dari penolakan Polri atas sejumlah draft RUU Keamanan Nasional yang dibuat.
Pada era Kepala Polri Sutanto dan Bambang Hendarso Danuri, Polri secara tegas menolak RUU tersebut untuk diteruskan menjadi undang-undang dengan berbagai alasan, salah satunya adalah keengganan Polri di bawah kementerian terkait. Pimpinan Polri beranggapan bahwa berada langsung di bawah Presiden adalah realitas politik, sehingga jika Polri diposisikan di bawah departemen tertentu akan menyulitkan Polri sebagai sebuah institusi.
Setelah mengalami beberapa revisi, RUU itu ternyata masih juga mengundang perdebatan, baik antara sektor keamanan, khususnya TNI dan Polri, serta melibatkan institusi lainnya yakni Pemerintah Daerah yang dalam derajat politik tertentu justru memiliki peran signifikan dalam penguatan demokrasi lokal, terlepas adanya sejumlah anomali-anomali politik yang mengikutinya.
PRIHANDOKO