TEMPO Interaktif, Jakarta - Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan uji materi atas Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No.24 Tahun 2003 tentang MK yang diajukan sejumlah akademisi.
"Mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua Hakim Konstitusi Mahfud Md. dalam sidang pembacaan putusan di MK, Selasa, 18 Oktober 2011.
Pasal 4 ayat f, ayat g, dan ayat h, Pasal 10, Pasal 15 ayat 2 huruf h, sepanjang frasa "dan/atau pernah menjadi pejabat negara", Pasal 26 ayat 5, Pasal 27A ayat 2 huruf c, d, dan e, ayat 3, 4, 5, dan 6, Pasal 50 A, Pasal 59 ayat 2, Pasal 87 UU MK dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Gugatan diajukan pada 29 Juli 2011 oleh sejumlah orang, di antaranya Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Saldi Isra, Yuliandri, Arief Hidayat, Zainal Daulay, Zainal Arifin Mochtar, Moh Ali Syafa'at, Fatmawati, didampingi aktivis LSM Nurcholis, Febri Diansyah, dan Wahyudi Jafar.
Saldi dkk mengajukan gugatan karena merasa ada yang mengganjal dalam UU MK yang bisa merugikan institusi tersebut. Antara lain, soal Majelis Kehormatan Hakim, larangan menggunakan UU lain sebagai pertimbangan dalam menguji UU, pergantian antarwaktu hakim konstitusi, syarat menjadi hakim MK, dan dihilangkannya proses ultrapetita.
Ultrapetita adalah penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau memutus melebihi yang diminta. Penghilangan ultra petita dinilai penggugat akan merugikan MK. Seharusnya, menurut penggugat, kewenangan tersebut diterima sebagai bagian kewenangan MK sehingga bisa memutus perkara lebih adil.
Berbeda dengan peradilan perdata, hukum acara di MK tidak mengatur ultrapetita. MK dalam putusan pengujian konstitusionalitas UU beberapa kali memutus melebihi permohonan. Alasannya, praktek ultrapetita lazim bagi MK diberlakukan di negara dan perkembangan yurisprudensi pengadilan perdata mengizinkan ultrapetita.
Hakim konstitusi menilai, ultrapetita tak mengapa diberlakukan lantaran hakim tidak seharusnya diikat di kotak pemohon yang dibuat berdasar kepentingan pribadi. "Hakim seharusnya lebih mengawal konstitusi, tidak sekadar kepentingan pribadi," ujar hakim Akil Mochtar.
Adapun mengenai Majelis Kehormatan Hakim, Saldi dkk menggugat keanggotaan MKH selama ini yang dinilai bisa menyulitkan MK karena ada anggotanya yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah.
Dalam putusannya, hakim menyatakan keanggotaan MKH dari unsur tersebut tidak memberi jaminan kemandirian karena ada kemungkinan orang yang mengisi keanggotaan MKH sarat kepentingan sektoral. Oleh karena itu, untuk menjaga independensinya, Mahkamah perlu menyusun kode etik dan pedoman perilaku.
Dalam amar putusannya, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelfa mengatakan, Mahkamah sebenarnya sadar pengujian pasal-pasal perkara ini berpotensi menimbulkan keraguan publik akan independensi MK, sebab yang sedang diuji adalah aturan soal institusi mereka sendiri. Meski begitu, menurut Hamdan dkk, pihaknya bisa memutus perkara secara independen.
"MK memahami keterkaitan MK dengan UU yang dimohon untuk diuji materi. Tapi ada tiga hal yang membuat MK tetap memutus perkara ini, yakni tidak ada forum lain yang bisa mengadili, MK tidak boleh menolak perkara, dan kasus ini merupakan kepentingan konstitusional, bukan kepentingan MK," ujarnya.
Dalam putusan ini, terjadi perbedaan pendapat atau dissenting opinion oleh hakim Harjono. Ia menilai, seharusnya Mahkamah sangat hati-hati dalam memutuskan karena ditakutkan membuat keputusan tidak adil dan tidak jujur memutus untuk kepentingan institusi sendiri.
Harjono juga berpendapat Pasal 50 UU MK seharusnya dikesampingkan Mahkamah tanpa menunggu adanya perkara yang diajukan pihak luar dengan dasar menegakkan konstitusi dan menjamin hak pencari keadilan.
Selain itu, Harjono menilai hakim konstitusi seharusnya mempertimbangkan legal standing para pemohon untuk menguji Pasal 87 huruf b UU MK karena pasal tersebut berkaitan dengan pemberhentian hakim MK. Menurut dia, dalam hal ini tak jelas apa kerugian konstitusional pemohon.
Salah satu pemohon, Wahyudi Djafar, mengaku puas dengan dikabulkannya 16 dari 17 klausa dalam 10 pasal yang digugat pihaknya. Meski, Pasal 15 ayat 2 huruf d UU MK tentang batasan usia hakim ditolak. "Soal umur hakim MK memang ditolak, meski frasa 'pernah menjabat penyelenggara negara' diterima. Soal ultrapetita dll juga diterima," kata dia, usai sidang.
ISMA SAVITRI