TEMPO Interaktif, Lampung - Ribuan petambak Plasma CP Prima memutuskan melakukan budidaya udang secara mandiri tanpa bekerja sama dengan perusahaan inti. Mereka telah menganggap PT Aruna Wijaya Sakti anak usaha CP Prima yang mengoperasikan tambak di Bumi Dipasena telah hengkang. “Budidaya mandiri tanpa pola kemitraan itu untuk menghidupkan ekonomi petambak. Kami akan merintis berbisnis udang secara mandiri,” kata Sukri J. Bintoro, Sekretaris Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu Dipasena, Selasa, 28 Juni 2011.
Hampir seluruh petambak di Bumi Dipasena saat ini sudah mulai tebar benur--benih udang windu--dengan modal seadanya. Sukri mengatakan bahwa modal awal untuk membeli udang setiap petambak bervariasi, mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 2 juta. “Kami tidak bisa budidaya dalam skala besar karena tidak ada kincir,” ujarnya.
Dengan pola mandiri itu, setelah panen nanti, mereka mempunyai kebebasan menjual udang ke pihak lain. Diperkirakan dalam empat bulan ke depan, para petambak sudah mulai panen udang windu walaupun dengan jumlah terbatas. “Kami akan menjual ke pihak lain yang menawarkan harga lebih baik dibanding saat bermitra dengan CP Prima,” katanya.
Meski begitu, selain modal, usaha mandiri itu mengalami kendala kondisi tambak yang masih rusak karena belum tersentuh revitalisasi oleh CP Prima. Bagi mereka yang tambaknya rusak, mereka bisa menyewa atau bekerja sama dengan petambak yang kondisi tambaknya sudah bagus. “Sementara, untuk modal selama budidaya, seperti membeli pakan dan obat-obatan, para petambak meminjam ke sesama petambak atau kerabat di kampung,” ujarnya.
Jatmiko, petambak setempat, mengatakan bahwa usaha tambak mandiri itu sebenarnya lebih merdeka dan lebih menguntungkan. Petambak bisa mengelola tambak dengan leluasa, termasuk menjual udang dengan harga yang sesuai pasar. “Kami pernah melakukan hal yang sama pada tahun 1999 hingga 2000 atau saat mau ditinggal Syamsul Nursalim sebagai pemilik lama. Sejarah seperti berulang,” katanya.
Baca Juga:
Saat itu, tingkat kehidupan para petambak langsung meroket. Selama dua tahun menjalankan pola pertambakan mandiri, petambak mampu membangun rumah, membeli mobil dan kebun karet di kampung halaman. “Saat itu, petambak bekerja sama memasarkan udang hingga ke Pulau Jawa untuk kemudian diekspor ke luar negeri,” katanya
Saat ini, kondisi areal tampak masih gelap gulita di malam hari lantaran sejak 7 Mei lalu CP Prima memutuskan aliran listrik. Akibat pemutusan aliran listrik itu, ratusan ton udang mati dan sejumlah sekolah dasar dan sekolah menengah pertama terancam ditutup.
NUROCHMAN ARRAZIE