TEMPO Interaktif, Jakarta - Pengamat militer Universitas Indonesia Andi Widjajanto menyarankan kasus penyanderaan dua puluh awak kapal MV Sinar Kudus oleh perompak Somalia diselesaikan melalui negosiasi. Dalam proses dialog antara perompak dan perusahaan tempat awak kapal bekerja, Pemerintah Indonesia berposisi sebagai fasilitator. “Negosiasi bisa dilakukan secara formal, apalagi perompak sudah menyebut soal tebusan," kata Andi, Selasa (12/4).
Menurut dia, pemerintah belum perlu mengambil langkah operasi militer. Jika harus dipilih, ada tiga model operasi militer, yaitu: Operasi CTF 151, Operasi Atlanta, dan Operasi Perisai Laut. Namun dalam kasus ini, karena fokus utamanya adalah menyelamatkan awak kapal MV Sinar Kudus, maka negosiasi yang lebih tepat karena akan mempercepat kepulangan ke-20 WNI. Hal itu menurut Andi lebih realistis.
“Bisa saja operasi militer dengan Cina dan Belanda. Tapi itu tepatnya saat perompaknya tercegat. Kalau kapalnya sudah telanjur terompak lebih baik negosiasi,” ujar Andi.
Operasi militer juga dinilai Andi sukar dilakukan untuk kondisi saat ini. Sebab tawanan sudah dibawa ke daratan. Belajar dari kasus-kasus penyanderaan sebelumnya, ini jauh lebih susah dilakukan. Karena kondisi daratan yang landai dan berupa padang pasir.
Perompak Somalia membajak kapal Sinar Kudus milik PT Samudera Indonesia di Semenanjung Arab pada 16 Maret 2011 lalu. Kapal dibajak saat dalam perjalanan dari Pomalaa, Sulawesi Tenggara, menuju Rotterdam, Belanda. Semua awak kapal bermuatan nikel senilai Rp 1,4 triliun itu kini ditawan di Pantai Eil, Somalia.
Kementerian Luar Negeri Indonesia terus memantau komunikasi dan negosiasi soal tebusan antara pemilik kapal dan kelompok pembajak. Dalam dua hari terakhir, tebusan yang diminta pembajak terus berubah. Pembajak awalnya meminta tebusan sebesar US$ 2,6 juta.
ISMA SAVITRI