TEMPO Interaktif,
Jakarta - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta membuat hubungan pemerintah pusat dan daerah memanas. Pemerintah pusat, dalam draft RUU yang diajukan ke DPR, menginginkan agar gubernur dipilih, yang tentu saja tak sejalan dengan keinginan DPRD dan sebagian besar rakyat Yogyakarta ingin penetapan.
Dalam polemik soal RUU ini, mantan Rektor UGM dan Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal punya pandangan berbeda dari publik dan intelektual pada umumnya. Keistimewaan daerah ini merujuk pada sumbangsihnya yang besar kepada Republik saat masih muda. Itu yang membuat Presiden RI pertama memberi Yogyakarta sejumlah keistimewaan.
Salah satunya pengangkatan HB IX dan PA VIII sebagai gubernur dan wakil gubernur seumur hidup. Tapi, kata Amal, itu tidak berlaku bagi keturunannya. "Untuk kepala pemerintahan enggak ada di dunia itu yang menyebut seumur hidup," kata guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini kepada Pito Agustin Rudiana dan fotografer Arif Wibowo dari Tempo di kediamannya, Pandean Sari, Yogyakarta, pada Rabu lalu.
Bagaimana sejarah pembahasan keistimewaan DIY ini?
Saya ikut membicarakan keistimewaan sudah lama, termasuk dengan Pak Sultan (Hamengku Buwono X). Waktu itu, saya agak lupa kapan, Sultan belum jadi gubernur. Ia mengundang orang-orang yang dianggap tahu (soal keistimewaan), termasuk staf pemerintah daerah. Kami membicarakan nasib keistimewaan Yogyakarta. Saya usul, kenapa keistimewaan tidak seperti Monako saja? Negara kecil yang tidak punya hubungan luar negeri, di bawah Prancis. Ada rajanya sebagai kepala negara, tapi ada perdana menteri yang melaksanakan kegiatan pemerintahan sehari-hari.
Apa respons Sultan saat itu?
Waktu itu manggut-manggut, tapi tidak secara jelas (menyikapi usul itu). Lalu, setelah reformasi, Departemen Dalam Negeri menyerahkan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM untuk membuat tanggapan secara luas. Hasilnya sudah diserahkan lagi kepada Departemen Dalam Negeri. Itulah lalu muncul yang namanya Parardya (gubernur utama). Saya juga ikut dalam diskusinya. Di situ ada (muncul) manifestasi perdana menteri.
Apa reaksi Keraton dengan sistem Parardya ini?
Waktu itu dari Keraton tidak ada reaksi apa-apa. Kalau kita lihat, Sultan dua kali pemerintahannya dipilih dewan perwakilan rakyat daerah. Yang pertama jelas dipilih DPRD. Kemudian pada 1999 ada calonnya dari PPP, Saudara Alfian. Saya waktu itu tahu jelas (Alfian) kalah. Dia (Alfian) bilang, bukan soal kalah dan menang, tapi menunjukkan proses demokrasi. Karena, syaratnya, calon harus minimum dua orang.
Bagaimana dengan sekarang?
Yang direncanakan sekarang dari pemerintah, (di dalam) Rancangan Undang-Undang Keistimewaan, ya, dikombinasi. Tetap pemilihan, bahkan boleh saja Sultan mencalonkan diri secara independen. Kalau Sultan ikut pemilihan, saya yakin pasti menang, karena tidak ada yang mau jadi itu (tertawa).
Tapi ini ada kaitannya sama Kepatihan. Keistimewaan DIY waktu zaman HB IX dan PA VIII itu seumur hidup. Makanya sekarang ada keinginan Sultan ditetapkan seumur hidup. Tapi Sultan pernah bilang enggak mau lagi jadi gubernur sampai umur 80 tahun, sudah theyol-theyol (tua renta) gitu. Nah, kalau begitu, bagaimana? Itu kan persoalan.
Bagaimana solusinya?
Bisa saja penggantinya melalui mekanisme yang ditata. Bisa saja dari kerajaan. Tapi dia sebagai gubernur kan ada persyaratan. Kalau tidak memenuhi persyaratan, calon dari Kesultanan itu bagaimana? Dalam administrasi pemerintahan itu kan rumit sekali. (Gubernur) itu bertanggung jawab semuanya, (baik) dalam penggunaan uang, cek, semua harus gubernur. Tidak bisa diserahkan wakil gubernur, enggak boleh itu. Apalagi pembuatan peraturan daerah.
Apa yang terkandung dalam kontrak politik penyerahan kedaulatan HB IX kepada Sukarno?
Tidak ada yang ngomong kontrak politik. Itu baru-baru saja. Ini kondisi yang secara psikologis mestinya dilakukan HB IX. Saya akan lindungi (kata HB IX). Kalau kontrak politik, seolah-olah HB IX bukan secara sukarela, tapi ada pamrihnya. Jangan dibilang itu kontrak politik, karena akan merendahkan posisi HB IX. Karena tak ada pamrih secuil pun, untuk jadi gubernur tak ada kepikiran pun. (Dia) 150 persen orang Republik.
HB IX kan sangat aktif dalam proses proklamasi. Dia masuk kelompoknya Sjahrir, Partai Sosialis Indonesia. Kalau masuk dalam kegiatan itu, apa mungkin tidak mengatakan daerah saya ini (Republik)? Dia juga diangkat sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet Sjahrir. Jadi dia memang orang pusat. Tidak pernah berpikir soal daerah istimewa.
Pada 1950 dihargai Bung Karno karena jasanya besar. (Karena) pada 1947, ibu kota negara pindah ke Yogyakarta karena keadaan tak memungkinkan. Pak HB IX yang aktif, (bilang), "Sudahlah di rumah saya saja." Otomatis segala sesuatu ditanggung Yogyakarta. Itulah keistimewaan Yogyakarta yang tidak ada di Solo.
Apa yang diucapkan Sukarno pada 1950 itu
Pada 1950 jadi daerah istimewa, (Sukarno mengatakan) "Ya sudah, kamu HB IX dan PA VIII yang memerintah." Dalam UU 1950 itu ada, tapi Sultan tidak mau mereferensi itu, hanya Amanat 4 September 1945. Saat itu sudah ada orang yang pro-Republik dan anti-Republik. Apalagi Belanda sudah meniupkan isu negara-negara bagian, terutama kepada raja-raja, kesultanan-kesultanan, juga bangsawan, seperti Priangan dan Sumatera Timur. Johor, Malaysia, enggak mau ke Republik. Yang pro-Republik itu jelas Yogyakarta.
Apa makna kontrak politik dalam konteks sekarang
Itu (soal istilah kontrak politik) bukan memperkuat Yogyakarta, tapi melemahkan Yogyakarta. Kalau saya wawancara imajiner dengan HB IX, pasti (HB IX) akan mengatakan itu. Sampai kemudian ada gerakan-gerakan yang bilang Yogyakarta akan merdeka. Kalau seandainya HB IX mendengarnya, akan dicekik orang itu (tertawa).
Artinya apa dalam konteks keistimewaan itu?
Saya enggak yakin kalau HB IX betul-betul menginginkan keistimewaan. Saat memerintah DIY, tak ada satu pun surat yang ditandatangani HB IX sebagai gubernur, karena sudah diserahkan kepada Paku Alam VIII. Yang melaksanakan tugas pemerintahan sehari-hari di Yogyakarta Sri Paku Alam VIII, dan HB IX di Jakarta. Jadi (dia) masuk jajaran elite.
Keistimewaan DIY mengacu pada apa?
Itu mengacu pada HB IX dan PA VIII seumur hidup. Itu yang dipakai. Kan ada tujuh elemen keistimewaan. Dari Jakarta, 6 sudah disetujui, tinggal 1. Itu soal posisi Sultan sebagai gubernur. Orang bilang, penetapan itu ciri keistimewaan DIY. Menurut saya tidak begitu. Pak Daoed Joesoef juga bilang, yang istimewa itu daerahnya, bukan orangnya.
Seumur hidup itu karena penghormatan presiden. Itu luar biasa untuk memerintah di Yogyakarta seumur hidup. Keistimewaan Yogyakarta juga soal tanah miliknya Sultan. Saat HB IX bilang daerah saya adalah daerah Republik, tidak pernah memikirkan tanahnya. Seperti tanah di Beteng Keraton, oleh HB IX sudah diserahkan kepada masyarakat. Siapa pun boleh tinggal di situ asalkan tidak diperjualbelikan.
Apakah dalam penghargaan itu disebutkan term waktu sampai kapan?
Ya, seumur hidup (HB IX dan Paku Alam VIII) tidak ada pemilihan. Artinya, hanya sampai HB IX sebagai gubernur, sebagai pimpinan daerah ini.
Kalau keturunannya?
Enggak ada. Apakah dalam penetapan (yang diusulkan) ini hanya HB X yang seumur hidup? Apakah disebutkan HB X dan keturunannya? Kalau di kerajaan ada (ketetapan raja seumur hidup). Untuk kepala pemerintahan enggak ada di dunia itu yang menyebut seumur hidup.
Bagaimana kalau gubernur atau wakilnya itu sudah uzur? Siapa yang akan mengurus pemerintahannya?
Itu persoalannya. Kalau Pak Joyokusumo (adik kandung HB X) bilang tidak apa-apa, karena tradisi di Keraton Yogyakarta tidak apa-apa. Calon raja yang masih kecil bisa diserahkan ke perwaliannya. Kalau raja masih ex-officio, apakah walinya ini yang jadi gubernur? Kalau raja belum jadi gubernur, apakah walinya yang jadi gubernur?
Saya tidak anti-penetapan. Tapi saya diserang terus, seolah-olah anti-penetapan. Tapi penetapan itu yang pasti saja. Apakah yang ditetapkan itu hanya HB X, atau HB X dan keturunannya? Itulah yang disebut dinasti, itulah monarki. Kalau dalam kehidupan kerajaan tidak apa-apa, tapi dalam pemerintahan apa mungkin?
Pendapat Anda, sebaiknya pemilihan atau penetapan?
Solusi paling baik itu Sultan berdialog dengan SBY. Secara terbuka dan jujur. Bisa saja penetapan itu tetap saja, tapi ada batas waktunya. Misalnya 5 tahun ke depan. Itu masih terbuka. Setelah itu bagaimana? Kalau mau ditetapkan lagi, ya ditetapkan.
Wawancara selengkapnya, baca Koran Tempo edisi Minggu (19/12/2010).