TEMPO.CO, Jakarta - Setelah resmi ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum atau KPU, presiden terpilih Prabowo Subianto disebut berencana melakukan penambahan nomenklatur kementerian. Kabinet Prabowo nantinya dari 34 menjadi 40 di pemerintahan mendatang.
Rencana ini sebagai upaya Prabowo merangkul semua kekuatan partai politik di pemerintahannya nanti. Namun, wacana ini menjadi perbincangan publik dan mendapat tanggapan beragam dari berbagai kalangan.
Fakta Wacana Kabinet Prabowo 40 Kementerian
1. Revisi undang-undang Kementerian Negara
Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi jika Prabowo-Gibran ingin menambah jumlah kementerian di pemerintahan mereka. Salah satunya melakukan revisi terlebih dahulu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal 15 undang-undang itu menyebutkan jumlah keseluruhan kementerian paling banyak 34.
Menurut Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia, revisi Undang Undang Kementerian Negara diperlukan agar bangsa Indonesia mengikuti perkembangan zaman. Dia mengatakan revisi UU tersebut bisa membuat jumlah kementerian bertambah menjadi 40 lebih, bahkan juga bisa berkurang menjadi di bawah 34.
Politikus Partai Golkar ini menyebutkan revisi UU Kementerian Negara tidak otomatis berbicara soal jumlah kementerian semata, melainkan juga perubahan nomenklatur untuk menyesuaikan kebutuhan pembangunan Indonesia seiring dengan perkembangan.
"Jadi kita jangan bicara angka dulu, kita bicara kebutuhan, kepentingan, bisa lebih dari 40, mungkin bisa turun di bawah 34," kata Doli di Jakarta, Kamis, 9 Mei 2024.
2. Harus didasari oleh kebutuhan
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang juga menyebutkan penambahan nomenklatur kementerian harus dilakukan dengan merevisi Undang-Undang Kementerian Negara Nomor 39 Tahun 2008. Ia mengingatkan agar wacana penambahan nomenklatur kementerian pada kabinet Prabowo-Gibran mendatang tak sekadar mengakomodasi kepentingan politik.
"Bukan karena kepentingan politik atau bagi-bagi kekuasaan yang berdampak kepada pemborosan anggaran," ucapnya.
Sebaliknya, kata dia, harus didasari oleh kebutuhan yang bersifat keharusan demi kepentingan rakyat. "Rencana adanya 'penambahan' kursi kabinet Prabowo-Gibran tentu harus ada dasar dan alasan kebutuhan yang memang keharusan untuk kepentingan percepatan kerja-kerja kebutuhan pemerintahan bagi rakyat," kata dia.
3. Politikus senior PDIP singgung janji kampanye Prabowo lanjutkan kebijakan Jokowi
Meski demikian, wacana penambahan jumlah kementerian mendapat tanggapan beragam dari sejumlah kalangan. Politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP Andreas Hugo Pareira menilai bahwa wacana Prabowo itu bertentangan dengan undang-undang Kementerian Negara.
Ia pun menyinggung janji kampanye Prabowo yang akan melanjutkan kebijakan pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi namun malah berencana mengutak-atik jumlah kementerian.
“Dulu janji kampanye pak Prabowo melanjutkan kebijakan pemerintahan Jokowi. Nah, ini belum mulai memerintah sudah mau menambah atau mengubah kementerian negara yang jelas-jelas bertentangan dengan UU Kementerian Negara,” ujar Andreas ketika dihubungi, Jumat, 10 Mei 2024.
Selain itu, Pareira juga mengklaim bahwa kemungkinan besar penambahan kementerian ini akan membebani keuangan negara. “Karena menambah birokrasi pasti butuh biaya,” tuturnya.
4. Berpotensi jadi kabinet gemuk
Staf Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Seira Tamara menilai, keinginan Prabowo menambahkan kementerian baru bakal membuat posisi kabinet Prabowo dalam pemerintahan ke depan berpotensi jadi kabinet gemuk.
“Kita disuguhkan pada situasi di mana proses pemerintahan ke depan dijalankan bukan berbasiskan kepentingan dan kemauan membentuk kebijakan yang baik bagi masyarakat,” ujar Seira dalam diskusi di Rumah Belajar ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa, 7 Mei 2024.
Menurut dia, rencana ini memperlihatkan komposisi kabinet pemerintah ke depan hanya untuk mengakomodasi jabatan-jabatan yang bisa diberikan kepada orang-orang yang sudah masuk koalisi atau memberi dukungan sebelumnya.
Seira menyebutkan hubungan timbal balik ini biasanya dikembalikan berupa jabatan. “Segala bentuk dukungan yang diberikan pada akhirnya tidak ada yang gratis dan diberikan secara ikhlas. Yang jadi rugi siapa? Masyarakat,” tuturnya.
Warga negara menjadi rugi karena dipimpin oleh rezim yang diisi bukan berdasarkan kompetensi, tapi hanya bagi-bagi jabatan saja. Meskipun penunjukkan menteri hak prerogatif presiden, Seira mengaku khawatir karena situasi saat ini menunjukkan banyak pihak merapat dan komposisi kabinet menjadi sangat gemuk. “Kami sangat khawatir juga, proses checks and balances-nya enggak bisa berjalan dengan optimal.”
5. Negara bisa rusak
Bekas calon wakil presiden atau cawapres Mahfud Md menyoroti kondisi jumlah menteri di Indonesia yang kian lama kian membengkak. Kata Mahfud, makin banyaknya jumlah menteri itu bisa jadi karena tuntutan akibat bagi-bagi kekuasaan yang terlalu besar setelah pemilu.
“Setelah Pemilu menang, karena terlalu banyak (pihak) yang dijanjikan (dapat kursi kekuasaan), menteri menteri jadi diperluas lagi,” kata Mahfud saat menjadi pembicara seminar nasional Pelaksanaan Pemilu 2024: Evaluasi dan Gagasan ke Depan di Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Rabu, 8 Mei 2024.
Mahfud pun menuturkan, jumlah menteri di Indonesia dari era ke era semakin banyak. “Dulu kan 26 menteri, sekarang jadi 34 menteri, besok pemilu yang akan datang ditambah lagi jadi 60, tambah (menteri) lagi kolusinya semakin meluas dan negara bisa rusak,” kata mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan atau Menkopolhukam itu.
KAKAK INDRA PURNAMA | JULI HANTORO | DANIEL A. FAJRI | DEFARA DHANYA PARAMITHA | SAPTO YUNUS | PRIBADI WICAKSONO
Pilihan editor: Bantah PAN Minta Jatah Kursi di Kabinet Prabowo, Zulhas: Terserah Beliau