"Tentara dan polisi berhak memilih, tapi harus ada Undang-undang yang mengatur itu,” kata dia, usai menghadiri Ulang Tahun Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur, Sabtu malam (26/6). Menurut Said, tentara saat ini sudah bisa berdemokrasi.
Disisi lain, trauma masyarakat terhadap sikap dominan tentara pada massa pemerintahan orde baru juga sudah mulai hilang. Sebab itu, jika benar usulan itu dilaksanakan, dia berharap ada Undang-undang yang tepat yang segera dibuat oleh pemerintah.
Undang-undang itu harus disosialisasikan dengan benar agar masyarakat tidak resah. Ketua PBNU yang baru menjabat tiga bulan ini menambahkan, secara matematis, hak pilih tentara akan memperkuat kedudukan penguasa tetap ada. Meski begitu, tentara dan polri merupakan warga negara, ”Jadi saya sepakat saja. Tapi Undang-undang yang mengaturnya harus ada.”
Seperti diberitakan, Rabu (23/6) kemarin, Mantan Panglima TNI Jendral (Purn) Endriartono Sutarto menyatakan prajurit TNI harus dikembalikan hak pilihnya pada 2014. Tidak memilih di dua pemilu (2004 dan 2009) seharusnya sudah cukup untuk menegaskan prajurit TNI sudah dewasa untuk berdemokrasi secara benar.
Masyarakat juga harus membedakan secara tegas antara hak pilih institusi dan individu prajurit. Di negara demokrasi semua azas demokrasi harus diterapkan semaksimal mungkin, termasuk hak memilih. "Hak pilih itu bukan hak institusi tetapi hak indidvidu prajurit. Sangat jauh bedanya," kata dia. Menurutnya, publik tidak perlu merasa khawatir TNI terpecah karena perbedaan pemilihan hak politik.
Pemberian hak politik anggota TNI/Polri dianggap terlalu dini oleh beberapa kalangan, diantaranya; Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi PDI Perjuangan Sidarta Danusubroto, dan Sosiolog dari Universitas Indonesia Thamrin Amal Tamagola. Thamrin mengatakan, sebagian masyarakat masih trauma dengan kekuasaan TNI dan Polri di masa lalu.
Dalam konteks psikologi sosial politik, dia menilai bahwa aksi penculikan yang dilakukan terhadap para aktivis pada masa reformasi dan juga kekerasan terhadap warga Aceh dan Papua telah meninggalkan trauma yang membekas.
MUHAMMAD TAUFIK