TEMPO.CO, Jakarta - Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan pendapatnya tentang pengembalian hak tentara dalam pemilihan umum tak bisa diartikan gamblang. Menurut dia, anggota TNI memang belum siap diberi hak politik untuk menyalurkan hak pilihnya.
"Saya katakan, kalau TNI (tidak bisa memilih) seperti warga asing saja, tapi saya paham karena kami organisasi yang punya senjata," kata Gatot di depan kantornya di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa, 4 Oktober 2016.
Menurut Gatot, masyarakat belum bisa menerima TNI yang dianggap mudah dominan dalam persaingan politik. "Dibayangkan kalau kampanye pakai senjata. Jadi belum siap, mungkin sepuluh tahun mendatang (bisa)."
Gatot mengatakan keputusan mengenai pemberian hak politik kepada TNI hanya dipegang Dewan Perwakilan Rakyat. "Yang menentukan DPR. TNI tinggal ikut."
Baca: Bos Go-Jek dan Perwakilan Pengemudi Bertemu, Hasilnya Nihil
Namun Komisi Pertahanan DPR tidak sependapat dengan Panglima TNI. Sebab, pemberian hak politik dinilai berpotensi memecah belah soliditas TNI. "TNI itu alat negara yang harus netral," ujar anggota Komisi Pertahanan, Supiadin Aries Saputra, kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa siang.
Kesan keberpihakan, kata Supiadin, tak akan hilang dari TNI sebagai kekuatan bersenjata bila diberi hak pilih dalam pemilu. Menurut dia, pertimbangan tersebut masih harus dipikirkan secara komprehensif untuk 5-10 tahun ke depan.
Ide pengembalian hak pilih anggota TNI terlontar dari Gatot saat berbicara dalam salah satu acara televisi swasta, Senin malam. Gatot sempat menyatakan harapannya agar TNI memiliki hak politik yang sama seperti warga sipil.
YOHANES PASKALIS