TEMPO Interaktif, Jayapura - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) untuk mengatur keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dengan cara diangkat sebanyak 11 kursi, sebagai pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua. Keputusan ini dikeluarkan MK dalam sidang putusan uji materi UU Otsus Papua Nomor 21 Tahun 2001 di Jakarta, Senin (1/2).
Menindaklanjuti keputusan Mahkamah tersebut, Ketua DPRP Jhon Ibo mengaku sebagai orang Papua pihaknya senang menerimanya. “DPRP, Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Majelis Rakyat Papua (MRP) akan mengatur kesiapan pelaksanaan 11 kursi itu. Kami harus memperjuangkan ketetapan baru itu ke Mendagri agar hak-hak dari 11 wakil rakyat baru itu bisa dipenuhi dan dapat melaksanakan tugasnya,” katanya di Kota Jayapura, Selasa (2/1).
Namun persoalan utamanya, lanjut Jhon, bagaimana menjaring orang-orang yang akan bakal duduk dalam 11 kursi itu. Untuk itu, pihak DPRP, MRP, dan Gubernur Provinsi Papua, serta para akedemisi berpikir satu mekanisme tentang hal ini.
“Misalnya saja, komponen mana yang akan diberi atau diangkat sebagai wakil yang berhak memperoleh jatah 11 kursi seperti yang diamanatkan UU Otsus. Tapi saya lihat, akan terjadi keributan di kalangan masyarakat dalam soal penetapan 11 kursi ini. Apalagi, di tahun ini pelaksanaan keputusan MK itu harus segera dilaksanakan,” paparnya.
Jhon menjelaskan, persoalan 11 kursi bermula dari ketidakpuasan orang Papua yang telah merasa tertarik untuk duduk terus di lembaga Dewan Perwakilan Pakyat. Terus ini juga bertolak dari kecurigaan hak dan kewajiban orang Papua di DPRP. “Kedua hal itu menjadi pemicu, rakyat melakukan perjuangan ke pemerintah pusat dan mengadu ke MK yang berujung mengeluarkan pertimbangan melihat urgensi perjuangan rakyat Papua memperoleh tambahan 11 kursi,” jelasnya.
Undang-undang Otsus, terang Jhon, mengatur anggota DPRP sesuai UU Pemilu sebanyak 45 kursi ditambah 11 kursi yang mewakili rakyat asli Papua. 11 Kursi itu tak harus dipilih pada tahapan pemilihan legislatif 2009, melainkan melalui pemilihan tersendiri.
"Tapi, kita tak pernah menetapkan satu mekanisme pemilihan tertentu terhadap 11 kursi yang diamanatkan UU Otsus sehingga pemilihan 11 kursi itu bersama-sama dilakukan pada pemilihan legislatif untuk 45 kursi yang telah berlangsung di pemilihan legislatif 2004 dan 2009 lalu, dengan total 56 kursi,” urainya.
Namun menurut Jhon, pada pemilihan legislatif 2009-2014, sebenarnya di luar aturan rakyat melakukan perjuangan kembali ke pemerintah pusat memperjuangkan 11 kursi lagi, yang harus ditetapkan melalui pemilihan berbeda dengan pemilihan legislatif secara nasional.
“Hingga saat ini, kita tak memiliki mekanisme baku melakukan penjaringan 11 kursi, guna menambah 56 kursi yang telah terisi 67 kursi. Tadinya, ada wacana bentuk partai lokal, tapi hingga kini belum ada. Sebab pemerintah daerah juga belum memiliki peraturan daerah provinsi (Perdasi) tentang pemerintahan Otsus,” jelasnya.
Persoalan tak adanya Perdasi Pemerintahan Otsu situ, lanjut Jhon, pihaknya masih menunggu Peraturan Pemerintah (PP) sebagai satu produk aturan yang lebih tinggi untuk memberi instruksi kepada Otsus di Papua sehingga nantinya berdasarkan PP itu akan dibentuk Perdasi Pemerintahan Otsus yang didalamnya mengatur partai lokal guna menjaring 11 kursi.
“Tapi dapat dibayangkan betapa rumitnya kita, apakah aman dilakukan karena ada partai nasional dan lokal. Partai lokal dan nasional, harus diatur fungsi dankewenangannya di Dewan," ujarnya.
Dia menambahkan, UU Otsus memuat pelaksanaan partai lokal, tapi orang Papua masih buta dalam implementasi UU Otsus itu. Untuk itu, para akademisi yang pernah menyusun draf UU Otsus, bisa menyusun kembali Perdasi pemerintahan Otsus di Papua.
CUNDING LEVI