Beberapa waktu lalu, Lembaga Sensor Film (LSF) meminta film yang disutradarai Robert Canolly tersebut tidak diputar di Jakarta Internasional Festival.
Film Balibo mengisahkan tentang terbunuhnya lima wartawan Australia, Selandia Baru, dan Inggris tahun 1975 lalu di Balibo, wilayah perbatasan Timor Timor (kini Timor Leste).
Lima wartawan itu tewas saat meliput masuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke wilayah tersebut. Kondisi keamanan Timor Timor saat itu kritis. Penyelidikan pengadilan koroner New South Wales mengungkapkan fakta, jika kelima wartawan asing itu dibunuh TNI. Namun, pemerintah menampik tudingan itu.
Menurut Arifin, awalnya dia tidak begitu tertarik dengan film tersebut. Tapi, melihat pemberitaan yang begitu gencar tentang pelarangan, rupanya memantik rasa penasaran. Tak pelak, hampir satu minggu ini dia dan beberapa kawan berburu film itu. Dia mengaku akan melakukan bedah film, jika kepingan CD film kontroversial itu digenggaman.
Jaringan di beberapa daerah telah dihubungi. Namun, lanjut Arifin, sampai saat ini film yang berasal dari Australia itu belum didapatkan. "Saat ini kami masih mencari film-nya, dengan cara menghubungi beberapa kawan jaringan yang ada di luar kota," ujarnya.
Hal senada diungkapkan Muhammad Vandi, mahasiswa Sekolah Tinggi Kejuruan Ilmu Pendidikan (STIKIP) Jombang. Sampai saat ini, Vandi juga kesulitan mendapatkan film itu. Selain menghubungi kawan, dia juga melakukan pencarian di internet. Namun hingga kini ia belum mendapatkannya. "Kami hanya mendapatkan sinopsisnya saja," kata dia.
Dia yakin film itu menarik karena mengisahkan tentang sejarah. Menurut dia, tidak ada yang membahayakan dari pemutaran sebuah film. Apalagi tingkat pemahaman masyarakat sudah tinggi. "Film ini kan menitik beratkan kepada perjalanan sejarah," kata aktivis teater yang akrab disapa Vandi Formalin ini.
M. TAUFIK