TEMPO.CO, Jakarta - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai kinerja DPR 2019-2024 memiliki berbagai catatan negatif di bidang agraria. Kinerja legislator periode sebelumnya yang kurang memuaskan dalam bidang agraria mestinya menjadi catatan bagi anggota parlemen ke depan.
Sekretaris Jendral KPA, Dewi Kartika, menilai, anggota DPR 2019-2024 tidak pernah melakukan evaluasi mendasar terhadap pelaksanaan agenda reforma agraria selama lima tahun terakhir terhadap Presiden Jokowi. Hal ini mengakibatkan implementasi reforma agraria jalan di tempat.
"Bahkan pelaksanaanya dimanipulasi sebatas bagi-bagi sertifikat dan menciptakan liberalisasi agraria melalui pasar tanah," kata Dewi dalam rilis resmi, Rabu 2 Oktober 2024. Adapun sebanyak 732 Anggota MPR yang terdiri dari 580 Anggota DPR dan 152 Anggota DPD Masa Jabatan 2024-2029 telah dilantik secara resmi pada Selasa, 1 Oktober 2024.
Berdasarkan Catatan KPA selama 2015-2023, Presiden Joko Widodo melalui Menteri ATR/BPN hanya mampu menertibkan tanah terlantar dari bekas HGU dan HGB seluas 77 ribu hektar dari 7,24 juta hektar tanah yang terindikasi terlantar
Dewi juga mengatakan, DPR periode itu juga tidak melakukan dialog partisipatif dan bermakna bersama perwakilan petani, rakyat dan organisasi masyarakat sipil untuk mengurai dan membenahi masalah konflik agraria yang terus meningkat di berbagai wilayah dari waktu ke waktu.
Hasilnya, konflik agraria di lima tahun terakhir terus menumpuk, menjadikan satu dekade Pemerintahan Presiden Jokowi sebagai era tertinggi letusan konflik agraria dengan 2.939 kasus (2015-2023).
DPR bersama Pemerintah justru menjadi motor utama lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang telah mengamputasi puluhan kebijakan pro rakyat di bidang agraria dan mengkhianati Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Alih-alih melahirkan produk legislasi yang memenuhi harapan kaum tani dan gerakan reforma agraria.
Dewi juga menilai, DPR gagal menjalankan fungsinya sebagai pengawas dan pengontrol jalannya pemerintahan. Berbagai kebijakan investasi dan pembangunan yang mengarah pada praktek-praktek perampasan tanah berjalan tanpa peringatan keras dari wakil rakyat di parlemen.
Beberapa kebijakan itu yakni pembentukan Lembaga Bank Tanah, percepatan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN), Pengampunan Keterlanjuran Bisnis Ilegal Kehutanan, Tambang dan Sawit. Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), Food Estate, impor pangan, HPL, HGU 190 tahun dan HGB 180 tahun di IKN, Perhutanan Sosial (PS) dan kebijakan Distribusi manfaat (Perkebunan Sosial) di wilayah-wilayah konflik akibat klaim PTPN dan suburnya praktik korupsi agraria-mafia tanah yang semakin meminggirkan kehidupan kaum tani, nelayan, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan lainya.
Selain lemahnya komitmen pimpinan DPR terhadap agenda ini, secara teknis, persoalan klasik kelembagaan yang telah berlangsung sejak Orde Baru menjadi salah satu hambatan kinerja monitoring dan evaluasi yang dilakukan DPR RI selama ini.
"Terutama mengenai terpisah-pisahnya pembagian komisi yang memantau Kementerian/Lembaga di bidang agraria, seperti Kementerian ATR/BPN, Kementerian LHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Desa PDTT, dan Badan Geo Spasial. Situasi ini membuat kordinasi pengawasan lintas komisi dan K/L melambat dan melemah," kata Dewi.
Atas catatan kritis di atas, Dewi mengingatkan seluruh Anggota DPR dan DPD terpilih ke depan secara serius dan konsekuen bekerja untuk mengedepankan kepentingan rakyat dan agenda reforma agraria. DPR dan DPD sudah selayaknya mengembalikan mukanya sebagai wakil rakyat yang memiliki peran strategis dalam pembentukan hukum, anggaran pembangunan dan mengawasi kinerja pemerintahan sesuai dengan mandat UUPA 1960.
KPA pun meminta DPR periode ini secara serius dan konsekuen melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja pemerintahan dalam pelaksanakan agenda reforma agraria sesuai mandat UUPA 1960 dan TAP MPR RI No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Sumberdaya Alam.
Lalu, secara intens membuka partisipasi publik yang lebih bermaksana melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan pertemuan semacamnya untuk mengurai persoalan konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah
Kemudian, mengevaluasi dan mencabut regulasi anti petani dan agenda reforma agraria seperti UU Cipta Kerja dan produk hukum turunannya yang terkait dengan Bank Tanah, Food Estate, PSN, IKN, KEK, KSPN, HPL, forest amnesty, KHDPK, serta menghentikan segala jenis kejahatan agraria yang telah berlangsung, sehingga ke depan konstitusi dapat diselamatkan, demokrasi ditegakkan, dan reforma agraria sejati dapat diwujudkan.
KPA juga mendorong, menyusun dan mengesahkan RUU Reforma Agraria serta RUU Masyarakat Adat sebagai penguat cita-cita UUPA, sekaligus landasan hukum bagi pelaksanaan redistribusi tanah, penyelesaian konflik agraria, pengakuan wilayah adat, perombakan monopoli tanah, dan pembangunan pertanian, pangan serta pedesaan dalam kerangka Reforma Agraria.
Saat menghadiri Reforma Agraria Summit di The Meru, Sanur, Denpasar, Bali, pada Jumat, 14 Juni 2024, Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang mengatakan lembaganya mengapresiasi kegiatan Reforma Agraria Summit 2024 oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Dia menyebut kegiatan ini baik untuk mengatur masalah pertanahan di Indonesia.
“Dalam rangka untuk kemaslahatan masyarakat. Kami tentu dari Komisi II mendukung penuh, khususnya mengenai anggaran,” kata Junimart usai menghadiri kegiatan itu.
Direktur Landreform Direktorat Jenderal Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN Rudi Rubijaya mengklaim reforma agraria sudah mencapai target yang diatur RPJMN 2020-2024 seluas 9 juta hektare. Pemerintah juga melegalisasi aset melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), sertifikasi tanah, transmigrasi, serta pendaftaran tanah ulayat.
Rudi menyebutkan capaian legalisasi aset sudah seluas 10,7 juta hektare atau 238 persen dari target 4,5 juta hektare. Dari sisi bidang tanah, saat ini terdaftar 117 juta lebih bidang tanah. “Jumlah ini meningkat 250 persen dibanding pada 2017 yang sebanyak 46 juta bidang,” kata Rudi kepada Tempo, 25 September 2024.
Hendrik Yaputra dan Adil Al Hasan berkontribusi dalam tulisan ini.
Pilihan editor: Kemenag Buka Pendaftaran Pengajuan Prodi PTKI hingga 31 Oktober 2024