INFO NASIONAL – Kebijakan pelabelan Bisfenol A (BPA) saat ini berlaku pada galon isi ulang bermerek yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat. Hal ini disampaikan Ketua Tim Standarisasi dan Pengkajian Bahan Baku, Kategori Pangan dan Informasi Produk dan Pangan Olahan, Direktorat Standardisasi Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Yeni Restiani.
“Sejak 5 April 2024, semua Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang beredar di Indonesia wajib mengikuti ketentuan dalam Peraturan BPOM No. 6 Tahun 2024,” katanya merujuk pada regulasi Label Pangan Olahan. Pemerintah, lanjut dia, mendorong produsen air minum bermerek untuk ikut berkontribusi dalam mencerdaskan konsumen dengan penyedian informasi yang valid terkait risiko BPA.
Pendiri MedicarePro Asia, sebuah lembaga riset dan promosi kesehatan di Jakarta, dr. Dien Kurtanty, mengatakan, polemik seputar risiko BPA dan pelabelannya tak perlu lagi diteruskan. “Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan terobosan berupa pencantuman label peringatan risiko BPA pada kemasan pangan,” ujar dia dalam seminar bertajuk “BPA Free: Perilaku Sehat, Reproduksi Sehat, Keluarga Sehat” di Jakarta Selatan, Rabu, 5 September 2024.
BPOM telah mengesahkan peraturan yang mewajibkan produsen air minum menggunakan kemasan polikarbonat, jenis plastik keras dengan kode daur ulang “7”, menerangkan label peringatan berbunyi:
“Dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan”.
BPA, kata dr. Dien, kerap digunakan sebagai bahan baku produksi plastik polikarbonat dan zat kimia resin epoksi. Senyawa organik ini dapat berpindah (bermigrasi) dari kemasan ke produk pangan dan terkonsumsi oleh masyarakat.
Menurut dr. Dien, poin penting dari pelabelan tersebut adalah pemerintah menaruh perhatian serius pada perlindungan konsumen. Uji toksikologi di berbagai negara menunjukkan BPA membawa risiko tersendiri terhadap perkembangan dan kesehatan tubuh, bisa memicu berbagai penyakit jika terpapar secara akumulatif selama bertahun-tahun. “Para pelaku usaha, kalangan ahli dan peneliti diharapkan untuk memberikan informasi yang jujur dan transparan kepada konsumen terkait risiko BPA,” kata dr. Dien.
Ketua Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Provinsi Bali, dr. Oka Negara, menilai regulasi BPOM tentang pelabelan BPA sebagai langkah terobosan dalam perlindungan kesehatan masyarakat. “Konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas atas produk yang dijual di pasaran, utamanya pada yang telah mengantongi izin edar BPOM. Dengan adanya pelabelan, konsumen bisa mengenal dan mewaspadai risiko paparan BPA pada kesehatan,” kata dr. Oka.
Paparan BPA, menurut dr. Oka, bisa memicu gangguan keseimbangan hormon dalam tubuh, terutama berkaitan dengan kesehatan reproduksi termasuk risiko pubertas dini dan gangguan menstruasi pada perempuan. “BPA itu risikonya akumulatif, tidak terjadi dalam jangka pendek, tetapi jika terpapar/migrasi di tubuh secara terus menerus. Oleh karena itu, jika ingin menuju negara sehat, maka kemasan pangan yang bebas BPA (BPA Free) harus menjadi prioritas,” ujar dr. Oka. (*)