TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menyoroti polemik muktamar tandingan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang belakang ramai dibicarakan.
Menurut dia, penyelesaian perselisihan yang ada dalam tubuh PKB itu dapat ditempuh melalui sidang mahkamah partai sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik atau UU Parpol.
"Secara normatif, berdasarkan UU parpol, perselisihan kepengurusan parpol, harus diselesaikan melalui mahkamah partai," kata Hardiansyah dalam pesan tertulisnya kepada Tempo pada Senin, 2 September 2024.
Muktamar ke-6 PKB telah digelar di Bali pada 24-25 Agustus 2024. Muhaimin Iskandar alias Cak Imin terpilih kembali sebagai ketua umum, sementara Wakil Presiden Ma'ruf Amin ditunjuk sebagai ketua dewan syura PKB.
Kelompok Fungsionaris Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKB menyatakan penolakan terhadap forum itu dan memilih untuk menggelar muktamar tandingan. Kelompok itu dipimpin oleh Syaikhul Islam selaku ketua DPP, Unais Ali Hisyam sebagai Ketua Dewan Syura, dan Malik Haramain yang bertugas sebagai sekretaris.
Koordinator kelompok Fungsionaris DPP PKB Muhamad Lukman Edy menyatakan kubunya menunda muktamar ulang di Jakarta pada 2-3 September 2024.
Hardiansyah menjelaskan bahwa konflik yang terjadi di tubuh PKB itu bisa bergulir ke pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung (MA). Jika sengketa itu terjadi, jelas Hardiansyah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) harus mempertimbangkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
"Pengesahan di Kemenkumham harus menunggu status penyelesaiannya inkrah," ujarnya.
Lebih dari itu, Herdiansyah menyampaikan, konflik di internal PKB tak hanya persoalan norma hukum. "Tapi, ada semacam upaya kekuasaan untuk mengkooptasi partai," tuturnya.
Herdiansyah menduga bahwa penguasa sedang berupaya untuk mengambil alih PKB. Menurut dia, salah satu celah yang bisa dilakukan rezim adalah memanfaatkan Kemenkumham untuk menentukan siapa kubu yang akan dimenangkan dan berujung pada pengambilalihan partai.
Pakar hukum tata negara itu juga membandingkan polemik PKB dengan intrik pergantian ketua Partai Golkar. Dia menilai ada upaya penaklukan yang dilakukan rezim atas kedua partai itu meski dilakukan dengan pola yang berbeda.
"Ada semacam operasi penundukan partai secara massal yang dilakukan oleh kartel politik," ucapnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menilai persoalan sengketa di internal partai politik memang kerap terjadi, khususnya soal kepengurusan.
Khoirunnisa menilai bahwa secara ideal partai memang perlu memiliki mahkamah partai untuk menyelesaikan sengketa internal tersebut. Namun, dia mengakui unsur politis seringkali mencampuri pengesahan di Kemenkumham.
"Kalau soal keabsahan secara legal, memang ini bisa jadi sangat politis, karena yang akan menetapkan legalitasnya adalah kemenkumham," kata Khoirunnisa dalam pesan tertulisnya kepada Tempo melalui WhatsApp, Senin pagi.
Lebih lanjut, Khoirunnisa juga menyebut potensi intervensi kekuasaan dalam pengesahan kepengurusan parpol merupakan potensi yang bisa saja muncul. Dia turut menyinggung soal polemik Partai Demokrat antara Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) melawan Moeldoko.
"Waktu itu ada partai demokrat versi Moeldoko yang merupakan Ketua KSP. Waktu itu ada kekhawatiran bahwa nanti yang akan mendapatkan legalitas adalah demokrat versi Moeldoko karena bagian dari kekuasaan," ujarnya.
Pilihan editor: Ilham Habibie Ungkap Alasannya Maju di Pilgub Jabar 2024