TEMPO.CO, Surabaya - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid melihat perjuangan mencari keadilan atas kasus penghilangan paksa 13 aktivis prodemokrasi pada 1998 ke depan makin berat. Bahkan sejak rezim Presiden Joko Widodo berkuasa, kata dia, perjuangan tersebut telah mengalami pelemahan di sana-sini.
“Termasuk usaha-usaha untuk mengkooptasi, atau semacam persuasi, sehingga keluarga-keluarga korban penghilangan paksa tidak lagi menyuarakan sekeras atau seteguh seperti semula,” kata Usman pada Tempo di sela-sela acara peringatan Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional di Amphitheather Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Fisip Unair) Surabaya, Sabtu, 31 Agustus 2024.
Meski tantangan kian berat, namun hal itu tak membuat Usman surut langkah terhadap sudut pandangnya dalam penyelesaian kasus penghilangan paksa. Karena, ujar dia, secara hukum internasional, pemerintah di mana pun tidak akan kehilangan kewajibannya untuk mencari kejelasan nasib dan keberadaan mereka yang dihilangkan.
“Pemerintah dan negara tak akan bisa memutihkan perkara ini, termasuk dengan memberikan amnesti, abolisi, grasi dan jabatan kursi kepada mereka yang terlibat di dalam pelanggaran hak asasi manusia khususnya dalam kategori penghilangan orang secara paksa,” tutur Usman.
Ihwal beberapa waktu lalu ada beberapa penyintas penculikan 1998 dikabarkan bersedia menerima kompensasi materi oleh sebuah kekuatan politik pro-penguasa, Usman menilai itu merupakan proses di luar mekanisme undang-undang. Karena UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kata dia, telah secara jelas memandatkan kepada pemerintah untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pengadilan terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas kasus penghilangan paksa.
Bahkan DPR tahun 2008-2009 juga sudah membuat empat rekomendasi pada pemerintah. Pertama, mencari kejelasan nasib dan keberadaan mereka yang masih hilang. Kedua, menghukum pelaku penghilagan paksa yang bertanggung jawab. Ketiga, memulihkan hak-hak korban dengan mekanisme reparasi dan kompensasi yang formal oleh negara.
“Dan yang terakhir mengambil langkah-langkah kebijakan untuk mencegah kasus serupa terulang kembali,” ujar Usman.
Peringatan Hari Anti-Penghilangan Paksa Internasional 2024 diisi pameran poster gerakan reformasi, orasi dan pembacaan puisi oleh para aktivis 1998, dosen Fisip Unair, Badan Eksekutif Mahasiswa Fisi Unair, Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi), komunitas #KawanHermanBimo, seniman patung Dolorosa Sinaga, serta monolog Hardingga. Ia adalah anak salah seorang korban penghilangan paksa Yani Apri.
Dua grup band pergerakan, yakni Suara Marabahaya dan Lontar turut memeriahkan acara. Lontar adalah grup musik yang pendiriannya diinisiasi oleh Petrus Bima Anugerah alias Bimo Petrus, mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Unair Angkatan 1993 yang diculik aparat pada 1998. Ia adalah basis band tersebut. Usman Hamid sempat duet dengan Hardingga membawakan lagu-lagu pergerakan, salah satunya berjudul Munir.
Peringatan Hari Anti-Penghilangan Paksa Internasional itu juga sekaligus desakan #KawanHermanBimo pada Rektorat Unair agar diperbolehkan mendirikan monumen memorialisasi di kampus tersebut sebagai pengingat terhadap dua mahasiswanya yang diculik. Selain Bimo Petrus, mahasiswa korban penghilangan paksa lainnya adalah Herman Hendrawan dari jurusan Ilmu Politik Angkatan 1990.
Namun meski telah diupayakan sejak 2005 oleh Ikohi Jawa Timur dan #KawanHermanBimo, pihak universitas tetap tidak memberi lampu hijau. Monumen yang rencananya berupa patung memorialisasi itu sudah dikonsep bentuknya oleh Dolorosa.
“Kami tetap berusaha agar di Fisip Unair ini didirikan monumen Herman-Bimo untuk mengenang dua kawan kami yang menjadi martil dalam perjuangannya menuntut demokratitasi,” ujar Dandik Katjasungkana, alumni Fisi Unair 1990 yang kini menjadi Ketua Ikohi Jawa Timur.
Airlangga Pribadi, dosen Fisip Unair yang juga turut berorasi dalam kegiatan peringatan Hari Anti-Penghilangan Paksa Internasional berpendapat, Indonesia sejatinya belum benar-benar memenangkan demokrasi. Hal itu terlihat pada perekayasaan supremasi hukum dalam hari-hari ini yang ia yakini akan dilanjutkan pada pemerintahan setelahnya.
Airlangga menyinggung soal munculnya despotisme, yakni sebuah rezim di mana hancurnya sebuah supremasi hukum berlangsung ketika pemimpin atau aliansi kekuasaan menggunakan instrumen hukum sebagai alat politik untuk menghancurkan demokrasi.
“Yang kita takutkan, tanpa adanya kritik dan perlawanan serius dari masyarakat sipil, kondisi ini dikhawatirkan makin menjadi-jadi. Sehingga jangan sampai demokrasi yang diperjuangkan berdarah-darah itu hanya tinggal kenangan,” kata Airlangga Pribadi.
Pilihan Editor: KontraS Desak DPR Segera Sahkan RUU Anti Penghilangan Paksa