TEMPO.CO, Jakarta - Fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 semakin marak. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat bahwa, jika kesepakatan politik yang telah diumumkan tidak berubah, tahun ini ada 34 pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon.
Di Jakarta, gerakan untuk mewujudkan calon tunggal juga mulai muncul setelah Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus mengusung Ridwan Kamil dan Suswono sebagai pasangan calon. Kondisi ini memperkecil peluang kandidat lain, seperti Anies Baswedan, untuk maju dalam Pilkada Jakarta karena belum mendapatkan cukup dukungan dari partai politik.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), satu-satunya partai yang tidak bergabung dengan KIM Plus, juga tidak dapat mengusung calon gubernur sendiri karena tidak memenuhi ambang batas 20 persen.
Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mencatat bahwa peningkatan calon tunggal mulai terlihat sejak pilkada 2015. Ia menyatakan bahwa partai politik cenderung menginginkan kemenangan yang pasti sejak awal. Pada 2015, dari 269 daerah, hanya ada 3 daerah yang memiliki calon tunggal, dengan potensi kemenangan hampir 100 persen.
Jumlah ini terus meningkat pada pilkada serentak 2017 dengan 9 daerah dari 101 daerah memiliki calon tunggal. Di pilkada 2018, 16 dari 170 daerah hanya memiliki satu pasangan calon, dan hanya di Kota Makassar di mana calon tunggal kalah oleh kotak kosong. Pada pilkada 2020, terdapat 25 calon tunggal dari total 270 daerah, dan semuanya berhasil memenangkan kontestasi.
"Dari 2015 sampai 2020, hanya ada satu calon tunggal yang kalah. Sebanyak 52 calon tunggal lainnya berhasil menang. Ini menunjukkan tingkat kemenangan yang luar biasa," ungkap Titi dalam sebuah webinar pada Ahad, 4 Agustus 2024.
Di sisi lain, pengamat politik dari Universitas Padjadjaran (Unpas) Caroline Paskarina, menyebutkan bahwa munculnya wacana calon tunggal dalam pilkada dapat mengancam demokrasi. Menurutnya, fenomena ini mencerminkan lemahnya kinerja partai politik dalam proses kandidasi, minimnya kontestasi gagasan, serta dominasi elit politik. "Fenomena kotak kosong sebenarnya adalah bentuk ketidakpercayaan publik," ujar Caroline kepada Tempo pada Rabu, 7 Agustus 2024.
Caroline menambahkan bahwa penyebab utama dari fenomena ini adalah sistem politik yang tidak berfungsi dengan baik. Dalam demokrasi, transisi kekuasaan dilakukan melalui mekanisme elektoral yang melibatkan partai politik sebagai instrumen utama untuk rekrutmen dan seleksi kepemimpinan, termasuk dalam pilkada. Selain itu, regulasi ambang batas pencalonan yang tinggi juga dinilai Caroline sebagai faktor yang turut berpengaruh.
Selanjutnya: Beberapa daerah yang terancam lawan kotak kosong