TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menindaklanjuti dua putusan Mahkamah Konstitusi ihwal syarat pencalonan di pemilihan kepala daerah 2024. Putusan yang dimaksud, ialah putusan MK Nomor 60 dan 70/PUU-XXI/2024.
Ia mengatakan ini menjadi momentum yang amat baik bagi KPU untuk mengakhiri polemik pembangkangan demokrasi yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah.
"KPU bisa merevisi Peraturan KPU dengan merujuk pada putusan MK. Itu sangat bisa dilakukan, KPU perlu konsisten," kata Neni dalam keterangan tertulis yang diperoleh Tempo, Kamis, 22 Agustus 2024.
Revisi PKPU itu, Neni melanjutkan, akan menyelamatkan demokrasi dan menjadikan penyelenggaraan pilkada lebih bermartabat. Bahkan, upaya ini akan membuat kepercayaan publik terhadap KPU meningkat usai sebelumnya tercoreng oleh kasus pelecehan seksual yang dilakukan bekas Ketua KPU, Hasyim Asy'ari kepada seorang petugas pemunguta suara luar negeri (PPLN).
"KPU jangan terlibat kepentingan pragmatis, KPU mesti menindaklanjuti putusan MK dengan segera merevisi PKPU," ujar Neni.
Pada 21 Agustus 2024, delapan fraksi di Badan Legislasi DPR dan pemerintah kompak menyetujui pembahasan perubahan Rancangan Undang-Undang atau RUU Pilkada. Hanya satu fraksi, yaitu fraksi PDIP yang menentang hasil pembahasan tersebut.
"Fraksi PDIP menyatakan tidak sependapat dengan RUU tersebut untuk dibahas pada tingkat selanjutnya,” ujar anggota Baleg DPR dari Fraksi PDIP Muhamad Nurdin saat membacakan pandangan fraksi dalam rapat pleno pada Rabu, 21 Agustus 2024.
Baleg DPR menyepakati revisi Undang-undang Pilkada hanya satu hari setelah MK memutuskan dua permohonan yang berhubungan dengan Undang-undang Pilkada.
Pertama, putusan nomor 60/PUU-XXII/2024. MK menyebutkan, partai atau gabungan partai politik tak lagi harus mengumpulkan 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau 25 persen suara sah untuk mencalonkan kepala daerah. Ambang batas pencalonan kini berada di rentang 6,5 persen hingga 10 persen, tergantung jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di daerah tersebut.
Kedua, putusan nomor 70/PUU-XXII/2024. MK menyatakan, syarat usia calon kepala daerah dihitung saat pasangan calon di pilkada mendaftarkan diri, bukan saat pelantikan seperti yang diputuskan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024.
DPR tak mengakomodasi kedua putusan tersebut. Baleg DPR malah menyiasati keputusan MK tersebut dengan mengubah Pasal 40 Undang-undang Pilkada yang menjadi syarat ambang batas partai politik mengumpulkan 20 persen kursi di DPRD atau 25 persen suara sah untuk mencalonkan kepala daerah.
Rumusan panitia kerja (panja) Baleg adalah mengatur ambang batas pencalonan sebesar 6,5 sampai 10 persen suara sah hanya berlaku bagi partai politik non-kursi di DPRD. Sedangkan syarat ambang batas pencalonan bagi partai pemilik kursi di DPRD adalah tetap 20 persen dari jumlah kursi di DPRD atau 25 persen dari perolehan suara sah.
Dalam rumusan Daftar Inventaris Masalah (DIM) Nomor 72, Baleg DPR juga mencantumkan perubahan Pasal 7 ayat 2 huruf e Undang-undang Pilkada. Panja Baleg merumuskan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.
Nurdin mengatakan, keputusan panja Baleg DPR merevisi Undang-undang Pilkada dapat menjadi preseden buruk terhadap hukum. Menurut dia, tidak ada satu pun negara yang dapat mengintervensi putusan lembaga tertinggi hukum, termasuk lembaga politik seperti DPR. Sebab, putusan MK adalah final dan mengikat.
"MK, baik dalam putusan maupun pertimbangannya, telah mengatur secara rinci dan jelas tanpa perlu ditafsirkan kembali,” ucap Nurdin.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi PAN, Yandri Susanto, membantah jika hasil rapat panja disebut tidak mematuhi putusan MK. Ia berdalih hasil rapat panja adalah untuk memberi persentase seadil-adilnya, khususnya kepada partai yang tidak memiliki kursi di DPRD. Adapun partai yang telah memiliki kursi di DPRD, acuannya tetap 20 persen sebagai syarat maju pencalonan.
Menurut dia, kekacauan akan bisa terjadi jika sebagian memakai ambang batas berdasarkan jumlah kursi, dan sebagian lagi menggunakan syarat pencalonan mengacu pada jumlah suara.
"Nanti saat pendaftaran ke KPU-nya bagaimana?” ujar Yandri. “Soal adil atau tidak, itu tergantung penafsiran masing-masing. Undang-undang harus ada kepastian hukum.”
Pilihan Editor: Breaking News: Rapat Paripurna Pengesahan RUU Pilkada Ditunda