TEMPO.CO, Jakarta - Badan Legislasi atau Baleg DPR putuskan ambang batas syarat pencalonan kepala daerah tetap 20 persen kursi di parlemen. Putusan itu tertuang dalam draf revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Putusan Baleg DPR yang diketok palu pada Rabu, 21 Agustus 2024 itu, otomatis mengoreksi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menghapus ambang batas tersebut. Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino menilai revisi UU Pilkada yang dilakukan oleh Baleg DPR cacat hukum atau inkonstitusional.
Pasalnya menurut Arjuna, putusan MK 60/PUU-XXII/2024 memiliki semangat untuk menjamin hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang telah memperoleh suara sah dalam pemilu serta dalam upaya menghormati suara rakyat dalam pemilu.
“Semangat Baleg DPR ini melanggengkan kartel politik yang sudah barang tentu bertentangan dengan UUD 45, suara rakyat diamputasi,” kata Arjuna dalam keterangan resminya, Rabu, 21 Agustus 2024.
Arjuna mengatakan, MK sebelumnya telah membuka peluang kepada semua partai politik peserta pemilu untuk mengusung calonnya dalam Pilkada 2024 tanpa terganjal aturan yang memberatkan. Sebab, mempertahankan persentase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 sama artinya dengan memberlakukan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi bagi semua partai politik peserta pemilu.
“Artinya, semangat MK ingin membuka peluang kepada semua partai politik peserta pemilu yang memiliki suara sah untuk mengajukan bakal calon kepala daerah agar masyarakat dapat memperoleh ketersediaan beragam bakal calon,” kata Arjuna.
Arjuna mengatakan, dengan mempertahankan presentase ambang batas 20 persen kursi di parlemen, dapat meminimalkan munculnya hanya calon tunggal, yang berujung dapat mengancam proses demokrasi yang sehat.
“Hasil Baleg DPR RI bukan hanya tidak sesuai dengan putusan MK tapi juga bertentangan dengan UUD1945, terutama Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menghendaki pemilihan kepala daerah yang demokratis,” kata Arjuna.
Arjuna juga berpendapat putusan MK 60 ini harus menjadi momentum untuk meradikalisasi proses demokrasi di Indonesia, terutama momentum untuk menghapus formula electoral threshold dalam sistem demokrasi Indonesia. Karena menurut Arjuna, formula itulah yang menjadi biang kerok munculnya kartelisasi politik.
“Satu-satunya jalan untuk mencegah kawin silang oligarki dan kartel politik adalah menghapus electoral threshold. Tidak ada jalan lain,” katanya.
MK memutuskan ambang batas Pilkada akan ditentukan perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah. Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu; 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen, sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait.
Sehari pasca putusan tersebut, Baleg DPR menggelar rapat untuk membahas RUU Pilkada. Dalam rapat ini, Baleg menyatakan tetap menggunakan ambang batas 20 persen kursi di parelemen bagi partai politik yang hendak mengusung calonnya di pemilihan kepala daerah.
Selain itu, Baleg DPR juga menolak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang syarat usia calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon.