TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia atau PSI, Kaesang Pangarep merespons sikap Presiden Joko Widodo alias Jokowi yang menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat Indonesia. Menurut dia, tidak ada presiden yang sempurna dan bisa berbuat kesalahan.
"Saya rasa itu kan sebagai presiden pasti tidak sempurna, enggak ada makhluk hidup yang sempurna," katanya ditemui di Jakarta Selatan, Jumat, 2 Agustus 2024.
Ia menilai, permintaan maaf ayah kandungnya itu sebagai tindakan manusiawi. Terlebih lagi, ujarnya, Jokowi akan segera pensiun sebagai presiden dua periode pada Oktober 2024.
Permintaan maaf Jokowi kepada rakyat itu disampaikan kepala negara saat memberi sambutan di momen zikir kebangsaan di Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis malam, 1 Agustus 2024. Acara ini merupakan rangkaian ‘Bulan Kemerdekaan’ HUT RI ke-79.
Dia menyampaikan permintaan maaf atas kesalahannya selama menjabat. Kepala negara mengingatkan bahwa dia hanya manusia biasa.
"Saya dan Profesor Kiai Haji Ma'ruf Amin ingin memohon maaf yang sedalam-dalamnya atas segala salah dan khilaf selama ini. Khususnya selama kami berdua menjalankan amanah sebagai presiden dan sebagai wakil presiden," kata Jokowi.
Jokowi mengatakan, bahwa selama menjabat sebagai Presiden, dia menyadari tidak bisa menyenangkan semua pihak. "Kami juga tidak mungkin dapat memenuhi harapan semua pihak. Saya tidak sempurna, saya manusia biasa, kesempurnaan itu hanya milik Allah Swt," kata Jokowi.
Pegiat demokrasi, Gde Siriana menilai permintaan maaf kepala negara menjelang akhir kekuasaannya sebagai sikap yang pelik. Sebab, menurut dia, tidak sejalan dengan hasil sigi kepuasan kerja pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin yang meningkat jelang masa purnatugas. Apalagi, agenda politik dinasti yang dilakukan Presiden Jokowi berlangsung tanpa hambatan.
"Karena tidak ada yang tegas menyatakan kepuasan. Pandangan saya, ketulusan permintaan maaf ini perlu dipertanyakan," kata Gde dalam keterangan tertulis yang diperoleh Tempo, Jumat, 2 Agustus 2024.
Permintaan maaf tersebut, Gde melanjutkan, juga terkesan menjadi formalitas belaka. Sebab, tak jelas ditujukan untuk hal apa dan mengenai kebijakan apa.
Pernyataan maaf itu, kata dia, juga semakin sarat formalitas lantaran tidak disertai dengan pernyataan menyesal yang dalam atas suatu perbuatan dan kebijakan yang diterapkan.
"Misalnya menyesal karena mendorong putranya, Gibran menjadi calon Wakil Presiden saat Ia masih berkuasa. Ya, ini jadi hanya formalitas saja," ujar dia.
Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies atau INFUS itu mengatakan, alih-alih menjadikan permintaan maaf tersebut sebagai momentum pengakuan dosa, permintaan maaf yang disampaikan Presiden cenderung menunjukan bahwa dirinya masih memiliki power dan pengaruh politik yang besar di pemerintahan selanjutnya.
"Jadi kata maaf di akhir jabatan ini sesungguhnya dapat diartikan sebagai keyakinan Jokowi untuk menjadi king maker dalam politik Indonesia esok," kata Gde.
Daniel A. Fajri dan Andi Adam berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
PIlihan Editor: Berencana Jadi Partai Politik, Begini Kilas Balik Projo